Pandangan Islam Soal Memungut Pajak dari Rakyat, Bolehkah?

Pemungutan pajak harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan.

Republika/ Wihdan
Pandangan Islam Soal Memungut Pajak dari Rakyat, Bolehkah?. Baliho imbauan membayar pajak dipajang di JPO Gambir, Jakarta, Ahad (24/4).(Republika/ Wihdan)
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin Abdul Fatah menyampaikan penjelasan tentang pajak dalam pandangan Islam dan apa hukum memungut pajak. Dia menyampaikan, pajak berbeda dengan zakat. Zakat berkaitan dengan kewajiban seorang Muslim yang dijelaskan dalam nash syar'i.

Baca Juga


Sedangkan pajak adalah urusan penguasa atau pemerintah sebuah negara dan tidak ada nash syar'i mengenai pajak. Namun, terdapat kaidah fiqih yang membolehkan penguasa membuat kebijakan apapun asal mengandung maslahat, yaitu 'tasharruful imam 'alar ra'iyyah manuthun bil maslahah'.

"Ini kaidah umum, yang maksudnya adalah kebijakan penguasa atau pemerintah kepada rakyatnya harus bergantung pada kemaslahatan. Artinya, kebijakan yang dikeluarkan itu adalah kebijakan yang memaslahatkan rakyat dan bangsa. Semua kebijakan, termasuk pajak," kata Guru Besar Ushul Fiqih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu kepada Republika.co.id, Senin (14/6).

Hasanuddin menekankan, kebijakan apa pun yang diterapkan oleh pemerintah, termasuk dalam hal ini pajak, bukan ditujukan untuk memeras, menyusahkan atau memberatkan rakyat. Di sinilah letak pentingnya memperhatikan prinsip keadilan dalam melakukan pemungutan pajak.

Hasanuddin juga menyampaikan pajak adalah bagian dari kebijakan pemerintah. Umat Muslim sebagaimana dalam Alquran, diperintahkan untuk taat kepada penguasa.

 

 

Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu...," (QS An-Nisa Ayat 59).

"Jadi hukum membayar pajak itu juga wajib. Hanya saja penyalurannya berbeda dengan zakat. Kalau zakat sudah jelas yang dalam penyalurannya itu ada delapan asnaf. Kalau pajak, tergantung pemerintah, sesuai dengan kebutuhan bangsa dan masyarakat. Ke mana uang pajak itu urusan pemerintah," ujarnya.

Pajak bersifat situasional, yaitu dipungut dari rakyat ketika memang suatu negara membutuhkannya untuk melakukan pembangunan. Ketika anggaran sebuah negara sudah berkecukupan, tentu tidak perlu lagi memungut pajak dari rakyat. Sebaliknya, rakyatlah yang malah diberi dana.

Pada zaman kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, pemungutan pajak dari rakyat diberlakukan secara berkeadilan lalu pajak yang telah dihimpun itu digunakan demi kemakmuran rakyatnya. Di zaman itu, pengenaan pajak dibuat supaya tidak memberatkan rakyat. Umar mengurangi beban pajak dan mereformasi sistem perpajakan agar tagihan pajak kepada rakyat kecil tidak terlalu tinggi.

Hasanuddin mengingatkan pemungutan pajak harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan. Artinya, pajak dipungut tanpa menindas rakyat yang kurang mampu dan dengan besaran yang wajar. Pajak untuk orang dengan harta berlimpah atau berpenghasilan tinggi tentu lebih besar dari pajak orang dengan penghasilan kecil.

 

"Di negara kita sendiri, ada penghasilan tidak kena pajak. PNS atau ASN itu ada minimal dengan gaji sekian tidak kena pajak, sedangkan (gaji) yang (besarannya) di atasnya baru kena pajak. Maka keadilan inilah yang harus dilaksanakan. Ada batas penghasilan yang tidak kena pajak," ucapnya.

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia (RFI) Ustadz Ahmad Sarwat juga menjelaskan hukum membayar pajak bagi seorang Muslim adalah wajib bila dikembalikan pada hukum dasarnya, meskipun tidak termasuk kewajiban diniyah. "Kewajiban membayar pajak kira-kira sama dengan kewajiban sosial ekonomi lainnya, seperti kalau kita naik bus, harus bayar. Juga kita harus bayar rekening listrik, telepon, air dan lainnya," katanya dilansir dari laman resmi RFI.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler