Pakar: Ada Situasi yang Mendorong Islamofobia di Kanada
Isu Islamofobia kembali marak di Kanada usai serangan terhadap keluarga Muslim.
REPUBLIKA.CO.ID, Shiraaz Hanif, seorang polisi Transit Metro Vancouver mengaku alami perlakuan berbeda setelah melepas seragamnya. "Saya memiliki jenggot, dengan mudah saya dikenali sebagai seorang Muslim, ketika saya tidak bekerja, ya, saya alami perlakuan berbeda,"kata Hanif seperti dilansir CBA News, Senin (14/6).
Meski belum pernah menjadi korban serangan kebencian, Hanif mengaku alami perlakuan berbeda di toko. Pengunjung toko yang melihatnya dengan ekspresi rasa takut. Situasi itu diyakininya akan berbeda ketika ia masuk ke toko tersebut dengan mengenakan seragam. Sebagian akan memberikan rasa hormat, karena ia merupakan polisi Kanada.
Isu Islamofobia kembali marak di Kanada usai serangan terhadap keluarga Muslim di London, Ontaria Ahad Malam. Serangan itu mengakibatkan empat anggota keluarga Muslim meninggal dunia. Dari penyelidikan awal polisi diketahui serangan itu termotivasi kebencian terhadap Muslim. Menteri Keamanan Publik Kanada Bill Blair mengkonfirmasi bahwa kasus tersebut sedang diselidiki sebagai tindakan teror.
Ketika politisi Kanada bicara menentang Islamofobia setelah serangan terhadap keluarga Muslim pekan lalu, Hanif menyebutnya munafik. "Bagaimana Anda bisa memberi tahu seorang anak bahwa Islamofobia itu salah ketika Anda memiliki pemerintah yang berpartisipasi dalam acara semacam itu?" katanya.
Hanif percaya bahwa akar dari semua kebencian, termasuk homofobia, rasisme, dan kebencian anti-pribumi, lahir dari ketidaktahuan. "Mereka mengambil informasi yang salah, informasi yang salah, atau mereka tidak tahu dan mereka mulai membenci," katanya.
Psikolog Stephen Wright menilai islamofobia hadir karena adanya pemahaman yang mengaitkan antara Muslim dengan kekerasan dan terorisme. Kesalahpahaman ini, kata profesor Universitas Simon Fraser tersebut, telah meresapi dalam keyakinan masyarakat Kanada.
"Ada Konsekuensi yang mengerikan,"kata dia.
Menurut Wright, untuk mengatasi keyakinan negatif ini perlu ada upaya untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan antar komunitas. "Kami melihat curahan kesedihan yang terjadi di London, dan saya pikir kita harus ingat bahwa bagian serangan itu adalah bagian dari kondisi Kanada yang sebenarnya. Ada anggota masyarakat yang berduka dan dirugikan dengan perbuatan tersebut,” ujarnya.
Wright juga menyarankan untuk memusatkan perhatian pada narasi positif tentang kelompok-kelompok yang terpinggirkan, dan memahami bahwa perbedaan itu ada dan harus diterima.
"kita semua termasuk dalam kelompok yang berbeda, tetapi kita membutuhkan merekadan bahwa keanggotaan kelompok itu penting, ini adalah hal-hal berharga yang harus kita lindungi bukan takutkan," katanya.
Jasmin Zine, seorang sosiolog yang telah mempelajari Islamofobia di Kanada selama lebih dari satu dekade, mengatakan bahwa penyebab tragedi ini bukanlah hal baru.
"Hal signifikan tentang Islamofobia dan penindasan dibaliknya adalah ada industri di belakangnya," kata Profesor Universitas Wilfred Laurier ini, menunjuk pada tokoh media terkemuka dan kelompok nasionalis kulit putih.
"Namun, tak hanya melalui mekanisme itulah Islamofobia beroperasi. Bukan hanya teori penipuan dan konspirasi. Ini adalah bagian dari arus utama," tambahnya.
Menurut Zine, Ada situasi yang mendorong kebencian dan retorika anti-Muslim di Kanada selama bertahun-tahun, seperti keputusan politik dan undang-undang keamanan, seperti Undang-Undang Anti-Terorisme Kanada, yang mulai berlaku setelah serangan 9/11. Juga RUU Quebec 21, yang melarang orang memakai simbol agama –seperti jilbab dan niqab – di tempat kerja.
"Apa yang dilakukan UU itu adalah mengatur perempuan Muslim dan mengasingkan mereka dari ruang publik. Ini menjadi pesan bahwa identitas dan ekspresi keagamaan Muslim ini tidak pantas di Kanada. Mereka adalah ancaman bagi cara hidup Kanada," katanya.
Zine mengatakan pemikiran ini tak hanya dipercaya masyarakat, tetapi terwakili dalam kebijakan pemerintah dan retorika politik arus utama.