Warga Myanmar Tunjukkan Solidaritas untuk Rohingya
Para aktivis mengenakan pakaian hitam untuk kampanye #Black4Rohingya
REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Ratusan ribu pengunjuk rasa anti-militer Myanmar telah membanjiri media sosial dengan foto-foto diri mereka yang mengenakan pakaian hitam. Hal itu untuk menunjukkan solidaritas terhadap Rohingya, yaitu sebuah kelompok minoritas yang paling teraniaya di Myanmar.
Sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dalam kudeta pada 1 Februari, gerakan anti-militer yang menuntut kembalinya demokrasi telah berkembang termasuk memperjuangkan hak-hak etnis minoritas. Pada Ahad (13/6), para aktivis dan warga sipil turun ke media sosial untuk mengunggah foto-foto diri mereka yang mengenakan pakaian hitam dan memberi hormat tiga jari sebagai simbol perlawanan. Mereka juga membuat tagar #Black4Rohingya di sosial media.
"Keadilan harus ditegakkan untuk Anda masing-masing dan kita masing-masing di Myanmar,” kata aktivis hak asasi terkemuka Thinzar Shunlei Yi dilansir Aljazirah, Selasa (15/6).
Media lokal juga melaporkan aksi protes kecil di pusat komersial Myanmar Yangon. Para demonstran berpakaian hitam dan memegang papan berisi tulisan dalam bahasa Burma yang mengatakan mereka "memprotes Rohingya yang tertindas".
Pada malam hari, tagar #Black4Rohingya menjadi trending di Twitter di Myanmar dengan lebih dari 332 ribu sebutan.
Salah satu pendiri Koalisi Rohingya Bebas, Nay San Lwin, mengatakan, kampanye #Black4Rohingya telah menerima dukungan dan solidaritas besar dari sesama warga Myanmar tahun ini. “Di masa lalu, kami hanya memiliki pendukung internasional tetapi sejak kudeta, kami telah menerima permintaan maaf publik dari individu dan organisasi di Myanmar,” ujarnya.
“Solidaritas dari sesama warga Burma sangat penting bagi kami. Kami tidak memiliki teman di negara kami sendiri, dianggap seperti musuh, penyusup dan sub-manusia, tetapi sekarang banyak dari mereka menerima Rohingya sebagai sesama warga. Banyak dari mereka menyadari bahwa mereka telah dicuci otak oleh militer," ujar Nay San Lwin menambahkan.
Nay San Lwin mengatakan, orang-orang Myanmar sudah mulai menghormati Rohingya dan hak asasi manusia. “Orang-orang yang dulu memanggil kami Bengali sekarang memanggil kami Rohingya. Itu berarti mereka sekarang menghormati hak asasi manusia yang paling mendasar," katanya.
Aktivis Rohingya terkemuka yang berbasis di Eropa Ro Nay San Lwin mengatakan bahwa, kampanye online adalah upaya tahunan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Myanmar terhadap keberadaan Rohingya. Kampanye yang digencarkan pada Ahad lalu, untuk pertama kalinya menjadi viral di Myanmar.
“Saya sangat senang melihat orang-orang di dalam Myanmar bergabung dengan kampanye ini. Saya lebih berharap memiliki solidaritas yang lebih kuat dari mereka,” ujar Ro Nay San Lwin.
Sebagian besar orang di Myanmar memandang Rohingya sebagai penyelundup dari Bangladesh. Selama beberapa dekade Rohingya hidup dalam ketidakpastian. Mereka tidak memilki kewarganegaraan, tidak memiliki haknya, akses ke layanan publik yang sangat terbatas, dan kebebasan bergerak.