Hikmah Larangan Puasa pada Jumat
Allah SWT mensyariatkan rangkaian ibadah yang banyak pada Jumat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa adalah salah satu ibadah mulia yang diajarkan Islam kepada umatnya. Namun, Rasulullah menyebut ada beberapa hari yang dilarang untuk melakukan puasa, salah satunya adalah hari Jumat.
Nabi Muhammad SAW melarang puasa pada Jumat secara khusus atau dijalani tanpa ada puasa sebelum atau sesudah Jumat. Jadi, larangan ini tidak berlaku jika seseorang telah berpuasa sebelum Jumat atau berencana akan berpuasa setelah Jumat.
Rasulullah bersabda:
لاَ يَصُمْ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُومَ قَبْلَهُ أَوْ يَصُومَ بَعْدَهُ
“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jumat kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.” (HR Bukhari)
Syafri Muhammad Noor dalam bukunya, Hukum Fiqih Seputar Hari Jumat, menjelaskan, ada empat hikmah dilarangnya puasa pada Jumat. Berikut penjelasannya:
Memaksimalkan beramal
Imam Nawawi menjelaskan hikmah di balik pelarangan puasa pada Jumat adalah karena pada hari itu Allah SWT mensyariatkan rangkaian ibadah yang sangat banyak. Beberapa amalan, seperti memperbanyak dzikir, memperbanyak berdoa, memperbanyak bershalawat kepada Nabi Muhammad, dan amal-amal lain.
Maka, kesempatan emas diharapkan tidak terhalangi karena lemas dan kehilangan semangat akibat puasa. Hukum ini sama dengan orang-orang yang sedang menunaikan haji.
Ketika mereka sedang berada di Padang Arafah, para haji dilarang berpuasa pada hari itu. Dengan begitu, puasa arafah hanya diperuntukkan bagi kaum Muslimin yang tidak sedang dalam melaksanakan ibadah haji.
Agar tidak berlebih-lebihan
Sebagian ulama meyakini, larangan puasa dilakukan agar kemuliaan hari Jumat tidak dinodai dengan amalan yang berlebihan, amalan-amalan yang sebenarnya tidak disyariatkan, tapi nekat untuk diamalkan
Menyelisihi kaum Yahudi
Kaum Yahudi sangat memuliakan hari raya mereka yang jatuh pada sabtu. Pada hari itu, mereka melakukan puasa khusus tanpa diikuti pada hari sebelumnya atau hari setelahnya. Hal ini dikakukan sebagai bentuk atas penghormatan mereka terhadap hari yang mulia dalam syariat agama yahudi.
Syariat Islam datang dengan memberikan arahan agar tidak menyerupai tata cara beribadahnya orang Yahudi. Maka, ketika tiba hari Jumat, di mana hari tersebut adalah salah satu hari rayanya kaum Muslimin, maka mereka dilarang berpuasa pada hari itu.
Larangan untuk tasyabbuh (penyerupaan) ini juga berlaku ketika hari ‘Asyura (hari kesepuluh dari bulan Muharram). Pada saat itu, kaum Yahudi melaksanakan puasa sebagai bentuk pengagungan.
Ketika datang syariat Islam, Nabi Muhammad memerintahkan agar kaum Muslimin tidak menyerupai kaum Yahudi dengan berpuasa hanya pada hari ’Asyura itu. Namun, hendaknya diikuti dengan satu hari sebelumnya (puasa tasu’a) atau satu hari setelahnya.
Tidak berpuasa pada hari raya
Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fathul Baari, menjelaskan salah satu hikmah larangan puasa pada hari Jumat adalah agar seseorang tidak berpuasa pada hari raya. Ini berdasarkan pada dua hadits Nabi Muhammad SAW:
“Hari Jumat adalah hari raya, maka janganlah kalian jadikan hari raya itu sebagai hari berpuasa kalian, kecuali jika kalian sudah berpuasa pada hari sebelumnya atau akan berpuasa lagi pada hari setelahnya.” (HR Hakim)
Ada juga hadist yang terkait dengan hikmah larangan puasa di hari Jumat. Rasulullah bersabda:
"Siapa di antaramu yang ingin melakukan perbuatan tathawu’ (sunnah) pada suatu bulan, hendaklah ia berpuasa pada Kamis dan jangan berpuasa pada Jumat karena ia merupakan hari makan dan minum serta dzikir".(HR Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang hasan).