Pengamat: Harga Beli Listrik dari PLTSa Terlalu Mahal
Pengamat menilai perlu ada insentif bagi PLN dalam membeli listrik PLTSa
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga jual listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dinilai terlalu mahal sehingga bisa merugikan PLN sebagai pembeli.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai perlu adanya regulasi baru agar upaya pengurangan sampah perkotaan tidak membebani PLN.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018, PLN membeli listrik dari PLTSa sebesar 13,35 sen dolar AS per perkilowatt hour (kWh). Apabila dikonversikan ke mata uang rupiah, dengan kurs 1 USD = Rp14.400, maka harga beli listrik dari PLTSa senilai Rp 1.922,4 per kWh.
Harga tersebut di atas rata-rata Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik PLN. Pada APBN 2021, BPP ditetapkan Rp 355,58 triliun atau rata-rata sebesar Rp 1.334,4 per kWh.
Dia mencontohkan, pembangkit PLTSa Benowo di Surabaya membutuhkan investasi sebesar 50 juta dolar AS dengan kapasitas 10 MW, PLTSa Jakarta investasi mencapai 345,8 juta dolar AS dengan kapasitas pembangkit 38 MW. Nilai investasi yang besar tersebut membuat PLN harus membeli listrik sebesar 13.35 sen per kwh.
"Dengan tarif per kWh yang begitu mahal maka akan memberatkan PLN. Apalagi sebenarnya PLN masih memiliki pilihan energi primer lain yang tarifnya lebih rendah dibandingkan PLTSa," ujar Mamit, Sabtu (16/6).
Dia menjelaskan, perlu adanya insentif tersendiri bagi PLN dalam membeli listrik yang dihasilkan oleh PLTSa sehingga tidak memberatkan PLN mengingat saat ini produksi listrik masih cukup berlimpah."Bentuk insentif yang bisa diberikan bisa berupa dana kompensasi atau subsidi kepada PLN terkait pembelian harga PLTSa tersebut," ucapnya.
Mamit juga menyoroti soal biaya pembangunan PLTSa yang dibebankan ke daerah akan cukup memberatkan bagi setiap pemerintah daerah. Dia menjelaskan peranan pemerintah daerah harus menggandeng pihak swasta dalam rangka membangun PLTSa tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah sudah mencapai nilai keekonomian dari biaya untuk pembangunan dengan nilai beli oleh PLN.
"Apalagi jika Pemda menggandeng pihak swasta maka perhitungan mereka akan lebih hati-hati lagi, kecuali memang pemda membentuk BUMD yang mengelola PLTSa sendiri. Perlu adanya insentif lebih kepada Pemda di mana bantuan saat ini sebesar Rp 500.000 per ton di nilai belum cukup dan memadai," tuturnya.
Mamit menekankan perlunya dibuat kembali aturan turunan dari Perpres 35/2018 sehingga bisa mengatur juga dari sisi lebih teknis dan juga pembiayaan agar bisa berjalan optimal.
"PLTSa ini sepertinya membutuhkan dukungan semua pihak, mengingat ada 2 potensi yang didapatkan yaitu pengelolaan sampah menjadi lebih baik. Di sisi lain listrik bisa dihasilkan dari sampah tersebut. Tanpa ada dukungan dari pusat, Pemda sepertinya berhati-hati dalam menjalankan pembangunan PLTSa tersebut mengingat investasinya sangat besar tetapi listrik yang dihasilkan kurang signifikan," tutupnya.
Seperti diketahui, Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, harga pembelian listrik oleh PLN dari PLTSa untuk kapasitas sampai dengan 20 megawatt (MW) ditetapkan sebesar 13,35 sen dolar AS per kWh, sedangkan kapasitas di atas atas 20 MW ditetapkan 11,8 sen dolar AS per kWh.