Gara-Gara Jilbab, Muslim Hui China Dituduh Ekstremis

Asosiasi meminta masyarakat tidak menghubungkan pakaian dengan kelompok ekstremis.

Weibo
Gara-Gara Jilbab, Muslim Hui China Dituduh Ekstremis. Peserta Muslim Turnamen Go atau Weiqi dari etnis Hui di Ningxia, China (kiri) mengenakan jilbab. Jilbab yang ia kenakan memicu keluhan daring tentang ekstremis.
Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, QUZHOU -- Sebuah kompetisi yang dirancang untuk mempromosikan persatuan antarkelompok etnis China di Quzhou, Zhejiang menjadi kontroversi setelah beberapa peserta mengenakan jilbab. Turnamen Go, permainan papan tradisional China atau disebut Weiqi direncanakan untuk mempromosikan partisipasi dan komunikasi di antara 56 kelompok etnis minoritas di China.

Baca Juga


Kompetisi yang diselenggarakan oleh Asosiasi Weiqi China dan berbagai kelompok lain juga menampilkan program estafet di  sebagai simbol kerja sama antara semua kelompok etnis. Banyak peserta mengenakan pakaian tradisional dalam acara tersebut akhir pekan lalu, termasuk anggota perempuan dari minoritas Muslim Hui dari Ningxia yang mengenakan jilbab.

Salah seorang peserta, Wang Jingchu, memenangkan kompetisi dan hadiah untuk pakaian tradisional terbaik. Namun, jilbab yang dikenakan Wang dan anggota delegasi Ningxia lain memicu keluhan daring tentang ekstremis.

Reaksi ini mendorong federasi olahraga regional untuk memerintahkan penyelidikan. Sekretariat Federasi Olahraga Ningxia mengeluarkan pernyataan pada Selasa (2/2/6) mengatakan telah mewawancarai presiden dan sekretaris jenderal asosiasi Weiqi regional dan memerintahkan mereka melakukan tinjauan mendalam tentang pakaian pemain Hui.

Dua hari kemudian, Asosiasi Ningxia Weiqi mengeluarkan pembelaan terhadap pakaian para peserta. “Sangat normal bagi pria Hui mengenakan topi putih dan wanita mengenakan jilbab. Pakaian ini sudah menjadi tradisi lokal Hui dan tidak ada hubungannya dengan kelompok ekstremis,” kata asosiasi.

Asosiasi juga meminta masyarakat menghormati budaya dan tradisi orang Hui. Mereka juga meminta agar tidak menghubungkan pakaian dengan kelompok ekstremis. Tindakan tersebut dinilai tidak bertanggung jawab dan merupakan bentuk penghinaan serta pencemaran nama baik.

 

Orang-orang Hui yang berbahasa China adalah Muslim yang sebagian besar tinggal di barat laut China dan Ningxia adalah daerah otonom yang mereka tetapkan. Sayangnya, pembelaan Asosiasi Ningxia Weiqi gagal memengaruhi beberapa kritikus termasuk Sarjana Marxis Akademi Ilmu Sosial Xi Wuyi. Dia blak-blakkan menilai tentang meningkatnya pengaruh Islam di China.

“Apakah Asosiasi Ningxia Weiqi memenuhi syarat untuk mengatakan jilbab adalah pakaian tradisional untuk orang Hui? Apakah hijab adalah gaun terbaik?” kata Xi dalam Weiboo.

Selain itu, ia juga mempertanyakan alasan dibalik adanya kompetisi etnis minoritas. “Apakah menciptakan kompetisi yang mengadvokasi keragaman baik untuk memelihara kepercayaan bersama tentang identitas China?” ujar dia.

Dikutip Asia One, Selasa (29/6), dalam beberapa tahun terakhir, pihak berwenang China telah menggeser kebijakan tentang etnis minoritas dari penekanan pada keragaman menuju kebijakan yang mempromosikan keseragaman. Ini termasuk dorongan untuk agama Sinicise yang mendorong penghapusan fitur arsitektur Arab seperti kubah dan menara masjid dan diganti dengan fitur tradisional China.

Pada 2018 sebuah perintah menghancurkan masjid agung yang baru dibangun di Weizhou, kota di Ningxia membuat ribuan orang Hui turun ke jalan sebagai aksi protes. Busana Muslim juga menjadi sasaran di Xinjiang di mana pihak berwenang telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas terhadap populasi Muslim Uighur. China telah mempertahankan kebijakannya di wilayah barat dengan mengatakan menargetkan ekstremis setelah serangkaian serangan teroris.

 

https://www.asiaone.com/china/chinese-hui-muslims-trigger-storm-wearing-traditional-dress-event-promote-ethnic-unity

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler