401 Anak Meninggal Akibat Covid-19 di Afrika Selatan

Dari 401 anak yang meninggal, 125 orang di antaranya berusia di bawah satu tahun.

AP/Bram Janssen
Paramedis memindahkan pasien Covid-19 ke hopistal di Lenasia, Afrika Selatan. Sebanyak 401 anak meninggal dunia antara Maret-Mei 2021 di Afrika Selatan (Afsel) setelah terinfeksi Covid-19 (ilustrasi).
Rep: Umi Nur Fadhilah Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, CAPE TOWN -- Sebanyak 401 anak meninggal dunia antara Maret-Mei 2021 di Afrika Selatan (Afsel) setelah terinfeksi Covid-19. Data tersebut diungkapkan National Institute of Communicable Diseases (NICD).


NICD mengatakan, ada 9.918 penerimaan pasien di rumah sakit setempat terkait Covid-19. Para pasien tersebut sebagian berusia 19 tahun ke bawah selama periode tersebut.

Data di rumah sakit menyebut ada 9.443 pasien. Dari jumlah itu, sebanyak 401 pasien meninggal di rumah sakit. “Di antara kematian tersebut, 146 orang (36,4 persen) adalah remaja berusia 15 hingga 19 tahun dan 125 orang (31,2 persen) berusia di bawah satu tahun," kata lembaga itu dilansir di Sowetanlive.co.za, Kamis (1/7).

Banyak dari kematian terjadi pada anak-anak yang memiliki kondisi penyakit penyerta. Laporan menunjukkan penyakit infeksi HIV, diabetes mellitus, dan penyakit jantung adalah yang paling sering dilaporkan pada kematian pasien anak. Ada juga laporan pada kasus asma dan penyakit paru kronis.

“Anak-anak dengan kondisi penyakit penyerta, menunjukkan risiko kematian yang lebih tinggi di antara anak-anak dengan kondisi medis yang mendasarinya,” ujar NICD.

Dari 9.443 anak yang dirawat, mereka menghabiskan rata-rata empat hari di rumah sakit. Sekitar 619 pasien anak telah dirawat di unit perawatan intensif dan 221 bergantung pada ventilator. Ada kemungkinan lebih banyak anak yang tertular virus corona di negara itu. 

NICD mengatakan, ada kekhawatiran tentang kemungkinan pengujian terbatas pada anak-anak yang menyebabkan kasus terlewatkan. Dari Maret hingga Mei 2021, infeksi tertinggi berada di antara individu berusia 15 hingga 19 tahun. NICD mengatakan saat itulah wabah klaster dilaporkan.

Sekitar 15 ribu dari lebih dari 1,5 juta orang yang telah diuji pada saat itu, tetapi mengecualikan usia mereka di formulir. Sekitar 3.430 orang mengabaikan jenis kelamin. Data dikumpulkan dari laboratorium publik dan swasta, dan sistem pengawasan rumah sakit daring yang mencakup 647 rumah sakit swasta dan publik di negara itu.

“Yang meyakinkan, data menunjukkan puncak kasus pada gelombang pertama dan kedua tampaknya tidak terkait dengan waktu pembukaan sekolah, dan kasus tetap rendah ketika sekolah dibuka,” kata NICD.

NICD menyimpulkan, anak-anak dan remaja secara substansial lebih kecil kemungkinannya untuk didiagnosis atau dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 dibandingkan dengan orang dewasa. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler