Kejari Klaim tak Punya Alasan Hukum Ajukan Kasasi Pinangki

Tim penuntutan Kejari DKI Jakarta mengaku sudah menelaah putusan banding Pinangki.

Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Pinangki Sirna Malasari bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2). Pinangki Sirna Malasari divonis sepuluh tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan. Republika/Putra M. Akbar
Rep: Bambang Noroyono Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) menilai, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengurangi hukuman terdakwa korupsi Pinangki Sirna Malasari sudah benar. Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari-Jakpus), Riono Budisantoso mengatakan, tak ada alasan, maupun dasar hukum yang tepat bagi tim jaksa untuk menolak hasil banding hakim tinggi, dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).


Menurutnya, hasil banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengurangi hukuman Pinangki dari 10 menjadi 4 tahun penjara, sudah sesuai kaidah hukum. Sebab dikatakan dia, dalam pertimbangan putusan banding, tak ada yang menyimpangi hukum.

Majelis hakim tinggi, dikatakan Riono, juga sudah menjalankan peran, dan memutuskan banding Pinangki sesuai dengan kewenangan PT DKI Jakarta. “Untuk itu, desakan agar JPU (Jaksa Penuntut Umum) mengajukan permohonan upaya hukum kasasi, sama artinya dengan meminta JPU untuk melakukan tindakan yang tidak memiliki dasar hukum, di mana hal itu tentu saja tidak dibenarkan,” ujar Riono, dalam pernyataan resmi Kejari Jakarta, yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (8/7).

Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dalam putusan bandingnya, Senin (14/6) mengubah amar Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta yang menghukum Pinangki 10 tahun, menjadi hanya empat tahun penjara. Padahal, dalam putusan pengadilan tingkat pertama, hakim memvonis mantan jaksa itu bersalah menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS, setara Rp 7,5 miliar dari terpidana Djoko Sugiarto Tjandra. Pemberian uang tersebut, agar Pinangki membuat proposal fatwa MA, untuk membebaskan terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali 1999 tersebut.

Selain terbukti menerima suap, PN Tipikor juga membuktikan Pinangki melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai 375 ribu dolar. Uang tersebut, bagian dari pemberian Djoko Tjandra itu. Akan tetapi, Pinangki mengajukan banding atas putusan PN Tipikor itu. Selanjutnya, PT DKI Jakarta mengubah putusan untuk Pinangki, berupa pengurangan hukuman menjadi hanya empat tahun. Putusan banding itu, sebetulnya sesuai dengan tuntutan JPU saat sidang tingkat pertama.

Alasan PT DKI Jakarta merabat hukuman Pinangki dengan sejumlah pertimbangan. Hakim tinggi dalam putusan bandingnya menilai, hukuman 10 tahun penjara untuk Pinangki, terlalu berat. Mengingat, saat sidang pertama, Pinangki mengakui menerima suap, dan gratifikasi senilai yang dituduhkan itu.

Hakim tinggi, juga mengatakan, pengurangan hukuman tersebut, karena sudah mendapatkan hukuman lain berupa pemecatan dari institusi kejaksaan. Menurut hakim tinggi, pun layak mendapat pengurangan hukuman, karena Pinangki adalah seorang perempuan yang memiliki tanggungan seorang anak balita.

Riono menerangkan, tim penuntutannya sudah mengkaji putusan banding tersebut. Termasuk, kata Riono, menelaah pertimbangan hukum dalam putusan banding tersebut. “Di dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, ketentuan dan peraturan hukum yang menjadi dasar pertimbangan telah diterapkan secara benar, dan tidak ada satupun ketentuan dan peraturan telah diterapkan tidak sebagaimana mestinya,” tegas Riono. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler