Terbayang Gus Dur di Final Euro 2020: Inggris Juara?
Inggris diunggulkan juarai Euro 2020
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Piala Euro 2020 akan segera mencapai puncaknya. Kedua kesebelasan, Inggris dan Italia, akan bertarung memperebutkan posisi jawara.
Pertanyaannya kemudian, strategi apa yang akan mereka mainkan? Apakah Inggris akan setia pada ideologi sepak bola kick and rush? Ataukah Italia setia pada ideologi bertahan total dan melakukan serangan balik mendadak yang lazim disebut catenaccio?
Melihat gaya pertandingan keduanya selama putaran final Piala Euro kali ini, semua bisa berubah, minimal ada desain baru sesuai keadaan. Pelatih Italia Roberto Mancini punya rekor mengesankan dalam hal kemenangan timnas Italia selama dipegangnya. Jadi, dia terbukti menjadi juru taktik yang hebat. Dia berhasil selalu memodifikasi taktik sesuai kebutuhan timnya selama pertandingan.
Pelatih Ingris Gareth Southgate juga begitu. Ideologi sepak bola Inggris dengan kick and rush juga mengalami modifikasi. Sama dengan Italia, Inggris juga melakukan hal ini terjadi di pertandingan semifinal. Ini terlihat jelas kala timnya mengalami kebuntuan karena Denmark bertahan total ala pertahanan gerendel Italia. Mereka--memakai istilah Jose Mourinho--memarkir bus di depan gawangnya.
Saat semifinal, tim Inggris melihat kenyataan. Ada begitu banyak, sampai enam pemain Denmark berjaga dengan ditumpuk di garis belakang menjaga kotak penalti. Semua pemain Denmark langsung turun ke belakang ketika mereka kehilangan bola. Yang di depan hanya menyisakan satu pemain. Taktiknya, bila Denmark berhasil mendapatkan bola maka kepada dialah umpan akan dilepaskan. Dia lalu melakukan sprint ke gawang lawan sembari melakukan tembakan keras.
Tapi, sayangnya tim Denmark tak punya lagi pemain sekelas Michael Laudrup seperti dulu. Penyerang yang bagus kali ini cedera di pertandingan sebelumnya. Maka, Denmark terlihat memaksakan diri melakukan strategi bertahan total. Keinginan mereka untuk adu penalti karena merasa unggul kualitas kiper tak kesampaian. Tim ini menerima hukuman tendangan penalti pada waktu krusial, yakni kala waktu perpanjangan pertandingan.
Lalu, apa yang terjadi dalam pikiran pelatih Inggris kala itu? Bila melihat komentator dari siaran langsung televisi Rusia di Euro 2020, terlihat Gate sangat menyadari paham apa yang terjadi di lapangan saat timnya bermain. Dia melihat fenomena parkir bus di area penalti Denmark pada 30 menit terakhir.
Pada situasi seerti itu, pasti dia menginstruksikan agar pemainnya -- mau tidak mau -- harus memfokuskan serangan di kawasan kotak 12 pas. Bola akan dialirkan ke arah sana dan pemain Inggris fokus bermanuver di area itu. Denmark saat itu memang tengah memainkan skema taktik pertahanan grendel dan serangan balik (catennacio) gaya klasik sepakbola Italia.
Tampak sekali Gate sadar bahwa timnya hanya akan bisa mencetak gol melalui bola mati, entah itu tendangan bebas, penalti, atau sepak pojok. Maka, bila bola terus dialirkan dan dimainkan pemainnya dia arena penalti Denmark sebab kemungkinan besar di sana akan terjadi insiden pelanggaran yang menguntungkan timnya.
Strategi lainnya dari Gate adalah pemainnya diminta menahan bola selama mungkin. Tujuannya adalah memancing pemain Denmark agar ke luar dari area sekitar penaltinya. Meski risikonya bagi penonton adalah akan melihat permainan menjadi lambat. Bola hanya berputar dan berputar di tengah lapangan saja. Bikin jenuh.
Dan itu benar saja terjadi pada waktu pertandingan memasuki perpanjangan waktu. Kala ada manuver menusuk gawang Kasper, pemain Inggris dilanggar di dalam kotak penalti. Akibatnya fatal, terjadilah tendangan penalti.
Dan, meski Kasper Schmeichel berhasil mengeblok tendangan penalti itu, gawang dia tetap kebobolan. Ini karena tak ada pemain Denmark bereaksi ketika bola tepisannya muntah. Maka penyerang Inggris Harry Kane, dengan mudah mencetak gol setelah tendangan penaltinya itu ditepis kiper Kasper Schmeichel
Apa yang terjadi pada Denmark ini persis terjadi ketika tim ini menjadi jawara pada Euro 1992. Kala itu, tim Denmark menekuk Belanda pada ajang semifinal. Yang masih diingat dalam momentum ini adalah ketepatan prediksi Gus Dur yang kala itu menjadi komentator pertandingan final tersebut. Waktu itu, dia mengatakan, bila akan terjadi gol maka itu akan terjadi melalui tendangan bola mati.
Gus Dur, meski bukan seorang pelatih sepak bola, dia bisa secara jeli melihat tim Belanda yang dipimpin libero Ruud Gullit sangat piawai bertahan. Di sisi lain, tim Denmark punya serangan sporadis, layaknya dinamit yang bisa memorakporandakan gawang lawan setiap saat. Semua serangan Denmark kala itu tetap buntu sebelum Laudrup bersaudara (Brayn dan Michael Luudrup) mampu menciptakan manuver di sekitar area kotak penalti sehingga menimbulkan tendangan bebas.
Denmark waktu itu memang ketinggalan. Dari tendangan bebas inilah Denmark mampu menyamakan kedudukan. Denmark kemudian menang melalui adu penalti dan melenggang ke final. Tim ini kemudian menjadi juara dengan menekuk tim Panser Jerman dengan skor telak 2-0.
Dan di situlah melambung nama bapak Kasper Schmeichel--Peter Schmeichel--sebagai kiper top dunia. Dia beberapa kali mengeblok tendangan pemain Jerman. Pada semifinal sebelumnya, Schmeichel senior juga sukses berulangkali kali menahan tendangan penalti pemain Belanda.
Lalu, apa yang terjadi di laga final Euro 2020
Yang pasti, Gate akan membawa semangat kick and rush dalam pertandingan itu. Meski tak sama gayanya ketika zaman tim Inggris di bela Bryan Robson di tahun 1966 atau John Barnes di tahun 1992, kini Inggris pun akan tetap memanfatkan taktik ini dengan melakukan modifikasi.
Gate akan melihat kenyataan bila secara individu pemain timnya lebih unggul dari Italia. Dan ini dipastikan akan membuat Roberto Mancini akan kembali memainkan strategi bertahan total ala parkir bus dan memainkan serangan balik (catenaccio).
Gate sadar tim Italia kini bukan bertabur bintang. Tapi, ada kemungkinan tim itu akan memunculkan bintang baru yang mendadak bersinar. Dan Italia sudah punya tradisi itu, yakni munculnya si kuncir Roberto Baggio yang beragama Buddha itu pada final sepakbola 1982. Jadi, segalanya serba mungkin!
Dan bagi Inggris, mengajak adu penalti juga mereka maui. Ini karena lagi-lagi kualitas kiper Inggris kali ini jauh lebih baik bila dibandingkan kiper tim Italia. Bayangkan, gawang timnas Inggris di Euro 2020 yang dijaga Jordan Pickord hampir-hampir tak pernah kebobolan dalam putaran final Piala Euro 2020. Pickford seakan memutus era buruk kiper Inggris.
Dahulu ada kisah konyol kiper yang berjuluk si-'raksasa England', Peter Shilton, dalam tim ini. Tapi meski tinggi perkasa menjulang dia dikadali oleh Maradona secara telak dalam semi final piala dunia 1996.
Tak hanya itu, Maradona yang boncel memperdaya Shilton dua kali. Bahkan, bagi Maradona semua itu dia lakukan dengan semangat menggebu sebagai balasan untuk mempermalukan Inggris akibat melakukan perang melawan Argentina di kepulauan Malvinas (Perang Malvinas).
Maradona pada ajang itu menjebol gawang Shilton. Satu tangan dikenal sebagai gol tangan Tuhan karena dia melakukanna sembari 'heading' dengan tangan. Dan gol lagi lainnya dilakukan melalui gocekan 'solo run' dari lapangan tengah. Dunia kala itu seakan melihat Maradona sedang mengolok-olok Inggris.
Beda dengan itu, Pickford si-kiper Inggris masa kini berkualifikasi sangat baik. Kiprah pemain jebolan akademi Sunderland ini malah sekarang tercatat sempat tak kebobolan selama 721 menit kala berseragam timnas Inggris. Ini mengalahkan rekor 720 menit milik kiper legendaris Inggris George Banks yang dicatat pada Mei hingga Juli 1966 silam. Gawang Pickford baru kebobolan pada ajang semifinal lalu. Kala itu, dia gagal membendung tendangan bebas indah yang dilepaskan bintang muda Denmark, Mikkel Damsgaard.
Jadi, Inggris pada final Euro kali ini punya kepercayaan atau modal lebih untuk untuk memenangkan pertandingan. Apalagi, mereka bermain di stadion kebanggannya, Wembley. Pasti ada aura magis dari stadion ini. Ingat, Inggris memenangkan Piala Dunia 1996 juga di stadion ini. Dan Italia pun sudah mencoba meminta agar pertandingan dipindahkan ke tempat yang lebih netral. Alasan Italia lainnya adalah Inggris adalah kecamuknya pandemi Corona yang masih mengharu biru Inggris.
Jadi, bila tetap pertandingan di gelar di Wambley, maka auranya lebih menguntungkan Inggris. Dapat dipasti tim ini akan berlebih mendapatkan dukungan penonton. Apalagi sepak bola Inggris punya tradisi bila ada anggota klub yang bermain di tim nasional, maka semua pendukung tim itu pasti akan berbondong-bondong ke stadion untuk mendukung pemainnya.
Jadi, penonton Inggris punya fanatisme berlebih. Bahkan di zaman dahulu mereka banyak bertidak negatif seperti mabuk dan berkelahi di jalan. Sampai-sampai disebut kaum perusuh dengan nama keren 'Holigan'.
Tampaknya Inggris besok akan menjemput takdirnya sebagai jadi juara Euro 2020.