Membaca Ideologi Virus Corona
Aturan PPKM Darurat tak serta merta diterima secara konsensual.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Makroen Sanjaya (Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta/Praktisi Media)
Hari-hari ini muncul benturan kepentingan antara aparatus negara di berbagai daerah versus mereka yang diidentifikasi sebagai para pencari penghidupan harian alias pedagang kecil. Pemicunya tunggal: virus corona. Para aparatus negara secara berkelompok, beraksi secara lugas, bertindak atas nama pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)---skala---Darurat.
Mengapa konflik antar-kelas itu mesti terjadi, di tengah kekalutan segenap warga bangsa akibat dihantam pandemi yang virusnya menyebar secara eksponensial itu? Apakah konflik yang menunggangi virus corona ini merupakan bukti adanya pertarungan ideologi yang berlangsung secara latent, terus menerus dan terstruktur? Jenis ideologi apakah yang melingkupi isu virus corona ini?
Pekan pertama pelaksanaan PPKM Darurat, di sana sini memicu perlawanan, terutama oleh kalangan kelas bawah, pedagang kecil yang berburu nafkah semasa—bekerja hari itu untuk menghidupi dirinya dan keluarganya hari itu juga. Aparatus negara berseragam Satpol PP pun beraksi secara represif. Dari video yang viral di media sosial, mempertontonkan kesalahkaprahan dalam cara bertindak (CB). Di satu video terlihat bagaimana lapak warung tenda disemprot dengan air dari mobil pemadam kebaran. Aksi itu menuai banyak kecamanan, terutama di media sosial.
Di video lain, sekelompok aparatus Satpol PP di Medan, yang didampingi polisi dan tentara sekali pun, terpaksa balik badan, manakala seorang pemilik kedai kopi di Jl Gatot Subroto, menolak perintah menutup kedainya. Dia akan tunduk, jika Gubernur Sumut dan Wali kota Medan bersedia memberi bantuan, untuk menghidupi istri dan kelima anaknya.
Alih-alih mendapat bantuan, keesokannya pedagang kedai kopi bernama Rakesh itu dihukum denda Rp 300 ribu plus pidana penjara dua hari dengan masa percobaan 14 hari. Ideologi virus corona, agaknya, menjadi pemantik konflik antar-kelas, yaitu kelas wong cilik (pedagang) kontra kelas penguasa itu.
Althusser (1969) mengurai dua cara ideologi bekerja. Pertama melalui apa yang disebut sebagai ideological state aparatus (ISA), yaitu suatu strategi lunak melalui jalur agama, lapangan pendidikan, keluarga, media, lembaga politik dan budaya. Cara kedua disebut represive state aparatus (RSA), yang bersifat memaksa atau represi. Sebagian besar strategi lunak, menuai sukses. Karenanya, ideologi konsensual bekerja sesuai rencana. Tapi harus diakui, ideologi konsensual menjadi cacat dan tak mampu membungkam rintihan tak bersuara.
Di sudut-sudut kota, muncul jeritan lirih para buruh harian lepas yang kehilangan nafkah. Keluh kesah diiringi tarikan nafas dalam-dalam, juga menggema dari para pedagang makanan di kantin area perkantoran maupun mal. Tidak sedikit pengusaha kuliner cekak modal, terpaksa harus menyeparohkan upah bahkan merumahkan pekerja yang bergaji tidak seberapa itu, untuk waktu yang tak bisa diprediksi. Akibatnya, negara dalam skala tertentu menggunakan jalur represi, dengan risiko kian menambah ‘luka dalam.’
Aturan PPKM Darurat tidak serta merta diterima secara konsensual, terutama di sektor informal. Tempat ibadah di wilayah penyanggah Jakarta, tetap rutin menggelar ritual secara komunal. Sebagian orang, terutama yang tidak terafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan arus utama, tidak mengindahkan aturan PPKM Darurat, karena termakan oleh desas-desus teori konspirasi. “Musholla dekat (rumah) saya, subuh tadi masih berjamaah. Sampai sejauh ini (jamaah) musholla Alhamdulillah sehat-sehat. Malah yang tidak ke musholla banyak yang terpapar bahkan meninggal,” demikian teks percakapan melalui Whatsapp dengan warga Bekasi, 5 Juli 2021 silam.
Pun sejumlah pedagang kecil yang didesak oleh perut yang lapar, tetap nekad membuka lapaknya. Para pelaku ekonomi mikro, agaknya sudah lelah dan tak lagi memiliki asa. Realitasnya mereka nyaris berjuang sendirian menghadapi dampak pandemi, selama hampir satu setengah tahun ini. Mereka juga masih jauh dari akses vaksinasi dalam rangka menciptakan herd immunity.
Alih-alih jumlah kasus baru tereduksi, justru lonjakan kasus baru terus menanjak. Pada pekan kedua Juli 2021, rata-rata kasus harian mencapai kisaran 40an ribu. Kegagalan secara parsial PPKM Darurat ini, menggenapi tiga kegagalan sebelumnya. Pertama, di awal pandemi kita gagal menanggulangi, apalagi membendung merebaknya virus yang meluluhlantakkan ekonomi dunia itu.
Beruntung, Indonesia tidak sendirian, karena dua negara berpenduduk besar lainnya, India bahkan Amerika Serikat, virus corona juga meledak meletup. Kedua, kita gagal memitigasi gelombang kedua serangan virus corona. Dikira pemudik akan mengangkut serta virus secara massal. Namun ternyata, serangan gelombang kedua itu, bukan disebabkan oleh pergerakan mudik masyarakat, melainkan dipicu oleh ‘importasi’ virus.
Kegagalan kedua itu sekaligus bertautan dengan kegagalan ketiga, yakni ketika varian Delta yang dibawa oleh para induk semangnya dari India itu lolos tak terbendung masuk Indonesia. Ketika ledakan varian Delta melanda India, sebanyak 129 WN India dari Chennai, leluasa datang ke Jakarta dengan menggunakan pesawat carter. Terbukti kemudian, 12 orang di antaranya, positif mengidap virus varian Delta. Varian Delta juga dilaporkan masuk melalui Pelabuhan Cilacap, Jawa Tengah. Sebanyak 14 orang anak buah kapal (ABK) asal Filipina, diketahui mengidap virus hasil mutasi virus itu. Bahkan, ABK asal Filipina itu kemudian menulari tenaga kesehatan (nakes). Virus made in India inilah, yang kemudian menjadi pemicu diberlakukannya PPKM Darurat.
Ideologi siapa?
Ideologi, jika diartikan sebagai “nilai-nilai yang melanggengkan struktur kekuasaan” (Cavallaro: 2004), maka apa yang dilakukan aparat Satpol PP, yang bertugas atas perintah pimpinan, berprinsip bahwa setiap bentuk perlawanan (tidak patuhi PPKM Darurat), harus dinihilkan. Karena, jika tindakan penertiban itu tidak efektif, virus corona makin menggila, maka kekuasaan bisa saja terancam.
Dalam hal ini, virus corona hanya menjadi kendaraan, karena sejatinya konflik antara Satpol PP dan pedagang kecil, kerap terjadi. Tapi jika ideologi dimaknai sebagai “nilai-nilai palsu yang digunakan untuk mengendalikan seseorang atau sekumpulan orang” ---sebagaimana yang diyakini sebagian orang, maka konflik yang bersifat latent ini akan terus ada, bahkan setelah pandemi ini berlalu.
Fakta hari ini, kasus virus corona di negeri asalnya, Tiongkok, sudah nyaris tak terdengar. Data dari worldometer.info per Sabtu, 17 Juli 2021 menunjukkan, di Tiongkok tercatat ‘hanya’ 92.213 kasus, kematian 4.636 dan sembuh 87.039. Bandingkan dengan di Indonesia, di hari yang sama, nyaris 20 kali lipatnya; 2.780.803 kasus, 71.397 kematian, 2.204.491 sembuh. Padahal, populasi Indonesia kurang dari 20 persen populasi Tiongkok. Kendati Tiongkok terbilang sukses, realitas ini tidak seketika bisa diterima sebagian orang.
Terutama, jika disandingkan dengan isu kedatangan tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok. Silogisme ini sama halnya, ketika aturan tutup sementara tempat ibadah, difalsifikasi oleh realitas tetap beroperasinya pasar-pasar tradisional. Sedangkan banyak pedagang kecil, yang tak sanggup menyewa lapak di pasar tradisional pun. Pada fase ini, bagi pihak tertentu, terutama mereka yang beroposisi biner dengan penguasa, di kepalanya berkelindan tafsir kecurigaan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang bermain. Setidaknya, ada anggapan pandemi ini menjadi ladang bisnis bagi kekuatan ekonomi politik tertentu.
Orang lupa, atau tidak semuanya paham tentang kunci sukses Tiongkok dalam memerangi virus corona ini. Sebagai negara raksasa dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, ditopang sistem ekonomi politik hibridasi antara sosialisme-komunisme dan kapitalisme terbatas, Tiongkok gerak cepat mengarantina total wilayah pandemi, sekaligus menyuplai seluruh kebutuhan hidup warganya; sesuatu yang mustahil dilakukan pemerintah Indonesia.
Di bawah sistem totaliterianismenya, warga Tiongkok yang terbiasa direpresi, tunduk sepenuhnya. Pun, sebagai negara yang maju teknologi kesehatannya, hampir satu miliar penduduk Tiongkok telah mendapat vaksinasi pada Juni 2021 lalu. Tiongkok bukan saja dicibir sebagai pemicu pandemi dunia, bahkan mampu menambang manfaat terbesar dari ‘petualangan’ virus corona. Nilai penjualan vaksin Sinovac buatan Sinovac Biotech Ltd, Beijing, Maret 2021 tembus angka 60 Miliar Dolar AS. Tapi Tiongkok bukan pedagang vaksin tunggal. Negara lain produsen vaksian yaitu AS, Jerman, Belgia, dan Inggris, pun mengeruk miliaran dolar dari bisnis vaksin ini.
Jika benar pandemi ini dipicu oleh nafsu ekonomi negara-negara pedagang vaksin itu, maka bacaan filosof Karl Marx menjadi benar dengan teorinya tentang dialektika materialisme historis. Sejarah, kata Marx, dikendalikan oleh faktor ekonomi semata, sebagai basis struktur. Sedangkan urusan lain, seperti agama, politik, budaya, bahasa dan lainnya, hanyalah struktur super yang tidak deterministik.
Apa mungkin, manusia di abad 21 ini punya motif melakukan depopulasi bagi sesamanya? Penerus Marx, yakni Althusser kemudian memfalsifikasi teori materialisme historis guru ideologisnya itu, dengan teori baru bahwa struktur super justru yang deterministik saat ini.
Tapi kalau pun Althusser benar, masih akan muncul pertanyaan susulan; agama apa, politik apa, budaya apa, dan bahasa apa, yang setega ini? Mungkinkah pandemi virus corona ini buntut pertarungan ideologi besar saat ini yang terus bersaing? Atau jangan-jangan, memang benar tingkat resiliensi psikologis orang Indonesia sangat rendah, seperti hasil riset Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Mei-Juni 2021 lalu. Wallahu a'lam.