Peringatan Keras dari Banjir China Hingga Jerman
Banjir tersebut memberi pesan kuat bahwa perubahan iklim nyata adanya.
REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Banjir mematikan yang terjadi di China dan Jerman telah menjadi pengingat yang kejam, perubahan iklim mendorong cuaca ekstrem di berbagai belahan bumi. Dua puluh lima orang tewas dalam banjir bandang di Provinsi Henan, China.
Hujan lebat di ibu kota provinsi Zhengzhou menyebabkan puluhan orang terjebak di subway yang terendam banjir. Sebelumnya 160 orang di Jerman dan 31 orang di Belgia tewas dalam bencana alam yang serupa.
Pakar mengatakan bencana-bencana membawa pesan perlunya perubahan signifikan yang harus dilakukan untuk menghadapi bencana yang serupa di masa depan. "Pemerintah harus menyadari infrastruktur yang mereka bangun di masa lalu atau bahkan sekarang, rentan terhadap peristiwa cuaca ekstrem," kata profesor di Lee Kuan Yew School of Public Policy Eduardo Araral, Kamis (22/7).
Penelitian yang dirilis di jurnal ilmiah Geophysical Research Letters pada 30 Juni lalu mengungkapkan tampaknya perubahan iklim meningkatkan jumlah badai besar dan bergerak pelan di Eropa. Badai tersebut bertahan lebih lama di suatu wilayah dan menyebabkan banjir yang terlihat di Jerman dan Belgia.
Perubahan iklim menyebabkan atmosfer menghangat sehingga dapat menahan kelembaman lebih lama. Artinya ketika hujan awan pecah maka lebih banyak air hujan yang diturunkan. Berdasarkan simulasi komputer para peneliti memprediksi pada akhir abad ini badai akan 14 kali lebih sering terjadi.
Walaupun banjir yang terjadi di barat dan selatan Jerman terjadi ribuan kilometer dari Henan. Tapi kedua bencana itu dapat memperlihatkan rentannya daerah padat penduduk pada bencana banjir dan bencana alam lainnya.
"Anda membutuhkan perhitungan teknis, memperkuat tanggul dan penghalang banjir, kami juga harus mengubah ulang tata kota," kata pakar dari Potsdam Institute for Climate Impact Research Fred Hattermann.
Ia mengatakan, fokus pada 'langkah-langkah penghijauan' harus ditingkatkan. Seperti membangun polder untuk mencegah air bergerak terlalu cepat. Polder adalah sebidang tanah rendah, dikelilingi tanggul sehingga tidak ada kontak air dari daerah luar selain yang dialirkan melalui perangkat manual. "Namun ketika terjadi hujan yang benar-benar lebat, semua itu tidak akan membantu, sehingga kami perlu belajar hidup dengan itu," katanya.
Kebijakan seperti memperkuat tanggul, membangun rumah, jalanan dan infrastruktur kota yang tahan perubahan iklim akan memakan biaya miliaran dolar AS. Namun rekaman video orang-0rang yang berjuang hidup di dalam subway terendam di Zhengzhou atau tangisan warga kota-kota Jerman di tengah-tengah puing rumah mereka menegaskan uang tidak berarti.
"Ini mengejutkan dan harus saya katakan, menakutkan, seperti kota hantu, tidak ada siapa-siapa, hanya puing-puing dan tidak dapat dibayangkan ini terjadi di Jerman," kata sopir Palang Merah John Butschkowski yang terlibat proses penyelamatan di Jerman.
Ilmuwan perubahan iklim dan cuaca di Singapore University of Social Sciences, Koh Tieh-Yong mengatakan harus ada asesmen terhadap sungai dan sistem perairan di wilayah-wilayah rentan pada perubahan iklim. Seperti perkotaan dan ladang. "Banjir biasanya terjadi akibat dua faktor kombinasi, satu hujan lebih lebat dari biasanya dan dua ketidakcukupan kapasitas sungai untuk memecah air hujan yang terkumpul," katanya.
Bencana di China dan Eropa terjadi di periode hujan lebat yang tidak sewajarnya. Jumlah air hujan yang mengguyur China selama tiga hari setara dengan hujan yang harusnya turun selama satu tahun.
Setelah mengalami bencana banjir parah dalam beberapa dekade terakhir. Pinggir sungai-sungai besar di Jerman seperti Rhine dan Elbe sudah diperkuat. Tapi cuaca ekstrem pekan lalu membuat aliran air di anak sungai seperti Ahr dan Swist menjadi menakutkan.
Para ilmuwan memperkirakan tidak adanya bendungan besar atau tempat evakuasi air yang cukup di kota-kota besar di Cina yang mengubah daya tampung Sungai Kuning. Salah satu faktor yang menyebabkan bencana banjir.