Studi Ungkap Penyebab Penyintas Covid Alami Komplikasi Paru

Komplikasi paru bisa terjadi pada orang yang sudah sembuh dari Covid-19.

Nova Wahyudi
Rontgen paru. Waktu paling mematikan dalam penyakit pernapasan akibat infeksi virus bisa terjadi setelah orang sembuh, seperti yang dialami sejumlah penyintas Covid-19.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Para peneliti di Fakultas Kedokteran Washington University di St. Louis, Amerika Serikat menemukan petunjuk tentang bagaimana kerusakan paru-paru berkembang setelah infeksi pernapasan. Infeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, juga bisa berdampak bagi paru penyintas.

Beberapa penyintas Covid-19, misalnya, masih mengalami batuk berkepanjangan, kesulitan bernapas, dan sesak napas. Itu merupakan gejala adanya penyakit pada paru.

Terkadang, waktu paling mematikan dalam penyakit pernapasan akibat infeksi virus justru terjadi setelah orang sembuh. Kerusakan yang terjadi pada organ beberapa pekan setelah virus dikalahkan oleh sistem imun dapat dapat menyebabkan penyakit kronis atau bahkan kematian.

Baca Juga



Dengan mempelajari tikus, para peneliti menemukan infeksi memicu ekspresi protein yang disebut IL-33. Protein itu diperlukan untuk sel induk di paru-paru tumbuh dengan cepat dan meluber ke ruang udara dan meningkatkan produksi lendir dan peradangan di paru-paru. Temuan ini mengungkapkan poin potensial intervensi untuk mencegah kerusakan paru-paru kronis yang disebabkan oleh infeksi virus.

"Vaksin, antivirus, terapi antibodi semuanya membantu, tetapi itu bukan solusi untuk orang yang sudah berada di jalan menuju penyakit progresif," kata penulis studi Michael J. Holtzman selaku Profesor Kedokteran Washington University, dikutip dari Times Now News, Kamis (9/9).

Baca juga : Islam dan Demokrasi di Mata Profesor Jepang

Sudah lama diketahui bahwa infeksi saluran pernapasan akut dapat menyebabkan penyakit paru-paru kronis. Menurut Holtzman, dokter sudah semakin baik dalam merawat pasien Covid-19 akut.

"Tetapi apa yang terjadi setelah fase sakit awal itu masih menjadi kendala utama untuk hasil yang lebih baik dan kita belum punya solusinya sementara jutaan orang sudah terinfeksi SARS-CoV-2 dan sebagian mengembangkan penyakit kronis, terutama penyakit pernapasan," ujar Holtzman.

Sebagai bagian dari penelitian yang dipublikasikan di Journal of Clinical Investigation ini, tim Holtzman mempelajari tikus yang terinfeksi virus Sendai. Virus ini tidak menyebabkan penyakit serius pada manusia, tetapi secara alami menginfeksi hewan lain termasuk tikus dan menyebabkan infeksi pernapasan yang berkembang seperti infeksi pernapasan pada manusia.

Untuk menilai peran IL-33 dalam kerusakan paru-paru pascainfeksi virus, para peneliti memodifikasi tikus secara genetik untuk kekurangan IL-33 dalam set basal sel induk paru-paru. Para peneliti memeriksa jaringan paru-paru dari tikus pada 12 dan 21 hari setelah infeksi virus Sendai. Mereka membandingkan sampel dengan jaringan paru-paru tikus yang tidak terinfeksi.

Tim menemukan bahwa dua populasi sel induk (stem cell) membantu menjaga penghalang antara paru-paru dan dunia luar pada tikus yang tidak terinfeksi. Namun, setelah terinfeksi virus Sendai, kedua populasi sel induk ini secara terpisah mulai berkembang biak dan menyebar ke ruang udara.

Para ilmuwan kemudian menginfeksi tikus-tikus itu -- dan sekelompok tikus yang tidak dimodifikasi -- dengan virus Sendai. Kedua kelompok tikus sama-sama efektif dalam melawan infeksi virus Sendai awal.

Tetapi tiga pekan setelah infeksi, paru-paru tikus yang kekurangan IL-33 menunjukkan pertumbuhan sel yang lebih sedikit, lendir, dan peradangan. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki lebih sedikit tanda-tanda perubahan paru-paru yang berbahaya.

Pada tujuh pekan setelah infeksi, tikus tanpa IL-33 dalam sel basal juga memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi dalam darah mereka dan lebih sedikit hiperresponsif saluran napas. Keduanya merupakan tanda perbaikan pada penyakit paru-paru kronis.

"Langkah-langkah untuk menargetkan jalur antara IL-33 dan aktivasi sel basal dapat menjadi dasar terapi yang efektif secara luas untuk mencegah atau mengobati penyakit paru-paru yang disebabkan oleh berbagai virus," kata Holtzman seraya menyebutkan bahwa timnya memiliki program penemuan obat untuk menemukan strategi yang sama.

Baca juga : 'Dokter tak Boleh Dipaksa Beri Ivermectin Buat Pasien Covid'

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler