Korupsi Massal Afghanistan dan Kemenangan Taliban
Korupsi di Afghanistan telah menghancurkan demokrasi yang rentan.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penelitian Brown University menemukan Amerika Serikat (AS) menghabiskan 290 juta dolar AS setiap hari di Afghanistan selama 20 tahun atau 7.300 hari. Dana itu dipakai baik untuk berperang maupun proyek-proyek pembangunan di negara itu.
Situs berita Pakistan, Dawn melaporkan proyek Costs of War menyimpulkan begitulah AS menghabiskan 2 triliun dolar AS selama 20 tahun di Afghanistan. Media-media besar Amerika menyoroti laporan tersebut.
Laporan itu mengatakan uang tersebut membantu 'menciptakan segelintir orang Afghanistan menjadi sangat kaya raya'. Mereka awalnya bekerja sebagai penerjemah bagi angkatan bersenjata AS lalu menjadi jutawan.
"Kontrak-kontrak membantu mendorong sistem korupsi massal yang melanda negara itu dan pada akhirnya, menghancurkan demokrasi yang rentan," kata stasiun televisi CNBC saat mengomentari laporan tersebut, Selasa (14/9).
CNBC mengatakan, AS menggunakan banyak cara untuk membangun kembali Afghanistan. Tapi Taliban hanya perlu sembilan hari untuk merebut kekuasaan di setiap ibu kota provinsi, membubarkan angkatan bersenjata dan meruntuhkan pemerintah Afghanistan yang didukung AS.
Mantan duta besar AS di Afghanistan Ryan Crocker yakin korupsi yang terjadi pasca 9/11 ini salah AS. "Titik akhir dari kegagalan kami, anda tahu bukan pemberontakan, tapi beban korupsi endemik," kata Croker pada Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction (SIGAR).
Baca juga : AS Serukan Pakistan tak Akui Pemerintahan Taliban
SIGAR merupakan direktorat jenderal yang bertugas mengawasi operasi Departemen Pertahanan AS di Afghanistan. Crocker yakin AS bertanggung jawab atas korupsi di Afghanistan dengan membanjiri negara miliaran dolar AS yang jauh lebih banyak daripada yang mampu mereka serap.
"Anda tidak bisa memberikan banyak uang ke negara dan masyarakat yang sangat rentan dan tidak memicu korupsi," katanya.
Di awal-awal masa perang Afghanistan memberi kontrak pemerintah pada warga Afghanistan dinilai sebagai kunci strategi kontra terorisme AS. CNBC mengutip laporan ke kongres tahun 2011.
Saat itu pemerintah AS yakin kontrak-kontrak ke warga negara Afghanistan akan 'membuka lapangan kerja, menarik dukungan dari warga setempat dan memberi AS pemahaman yang lebih luas mengenai lanskap lokal.'
Jutawan baru
Beberapa jutawan Afghanistan awalnya penerjemah untuk militer AS. Sering kali kesetiaan mereka satu-satunya kriteria untuk mendapatkan kontrak-kontrak pertahanan itu.
Salah satunya Fahim Hashimy, seorang guru bahasa Inggris di Kabul saat 11 September 2001. Ia dipekerjakan sebagai penerjemah ketika tentara AS tiba. Lalu ia mendirikan perusahaan pemasok barang-barang dan bahan bakar ke pangkalan militer.
Hari ini perusahaannya Hashimy Group telah menjadi konglomerat besar yang memiliki stasiun televisi, pabrik-pabrik, investasi real estate, perusahaan truk dan maskapai pesawat kecil, yang semuanya berada di Afghanistan. Tetapi Hashimy tidak malu mengatakan korupsi yang membuat pemerintah Afghanistan ambruk.
"Garis bawahnya korupsi adalah masalah terbesar yang kami miliki, saya pikir korupsi tidak hanya menyebabkan dampak negatif pada bisnis, tapi juga berhubungan langsung dengan ketidakamanan," katanya pada National Public Radio pada 2013 lalu.
Jutawan 9/11 lainnya Hikmatullah Shadman juga bermula sebagai penerjemah bagi tentara AS. Pada tahun 2007 setelah lima tahun menjadi penerjemah, Shadman menyewa truk dan mulai mengirim bahan bakar dan pasokan barang ke pangkalan AS.
Baca juga : Letjen Dudung: Semua Agama Itu Benar di Mata Tuhan
CNBC melaporkan pada 2009 perusahaannya mendapat kontrak dengan Departemen Pertahanan AS sebesar 45 juta dolar AS. Dari 2007 hingga 2012 perusahaan pengiriman barang dengan truk milik Shadman sudah mendapatkan kontrak senilai 167 juta dolar AS dari pemerintah AS.
Pada 2012 Departemen Kehakiman AS menuduh Shadman menyogok tentara AS dan pemerintah Afghanistan untuk mendapatkan kontrak. Ia juga dituduh membengkakan tagihan dan mengajukan tagihan atas kontrak yang tidak pernah dikerjakan.
Tapi tidak hanya orang Afghanistan yang melanggar kontrak dengan pemerintah AS di Afghanistan. Pada tahun 2014 perusahaan Belanda, Supreme Group dinyatakan bersalah atas kasus penipuan.
Namun laporan yang dirilis pekan ini mengatakan 'sebagian besar penipuan kontrak dan korupsi di Afghanistan tidak dilaporkan dan tidak dihukum.'