Santri Tak Mau Dengarkan Musik, Tak terkait Soal Terorisme!

Santri tak mau dengarkan musik itu sikar konservatisme, bukan awal terorisme,

Antara/Adeng Bustami
Sejumlah anak mengikuti Program Magrib Mengaji di Masjid Baetul Mutaqin, Kampung Munggangwareng, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (8/9/2021). Pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan para kiai dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jabar meluncurkan Program Maghrib Mengaji dan Membaca Al- Quran di masjid untuk menjaga tradisi dan budaya umat Islam di nusantara.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme UI, Al Chaidar Abdurrahman Puteh, mengatakan sikap dan pernyataan yang menghubung-hubungkan tindakan santri menutup telinga saat akan melakukan vaksinasi jangan dipandang berlebihan. Apalagi kemudian dikatait-kaitkan dengan pernyataan mereka sebagai calon anggota teroris, Taliban, ISIS, Alqaeda, dan sejenisnya.


''Itu tuduhan ngaco. Apa-apan kok menarik-narik pada soal teroris. Di situ yang benar itu tindakan konservatisme biasa yang berangkat dari kultur santri biasa. Lazimnya mereka santri tahfidz (pengahafal Alquran) bisa. Mereka memang menjaga sekali pendengarnya agar setoran bacaan yang dihapalnya tak hilang,'' kata Al Chaidar yang kini tengah berada di Univeritas Leiden Belanda untuk melakukan penelitian tentang Darul Islam, kepada Republika, Selasa (14/9).

Alchaidar menyebut dan mengkaitkan para santri dengan terorisme itu tanda adanya dan kuatnya sikap Islamphobia. Bahkan sudah sangat berlebihan. Para santri jelas disudutkan.

''Di kampung saya di Aceh banyak santri di berbagai dayah (pesantren) yang bersikap seperti itu. Mereka biasa saja dan bukan teroris atau ketika dewasa menjadi terorisme. Tindakan konservatif tak terkait dengan indikasi asal muasal terorisme pada seseorang.''

''Saya kira wajar saja bila mereka tutup telinga. Sebab, saya dengarkan juga musik yang diputar saat santri berada itumemang tidak bagus alias jelas. Berisik. Jadi jangan over simplicit,'' tegasnya.

Bagi bangsa Indonesia, sikap berlebihan dengan menuding soal-soal konservatisme terkait dengan terorisme malah akan berakibat negatif. Akan ada pihak yang merasa hak asasinya dikurangi.''Para santri itu misalnya, mereka kan merasa berhak itu kuping-kuping dia kok yang lain ikut pada ribut. Perkara tidak mau dengar bunyi atau musik ini dan itu kan haknya. Mengapa mereka diganggu,'' ujarnya.

Tak hanya itu, Chaidar juga menyatakan sangat menyayangkan bila simplikasi santri yang menutup telinga kala mendengarkan musik itu terkait tanda awal teroris tersebut dikatakan oleh pihak politisi. Ini karena pernyataan dia akan menimbulkan efek panjang dan menyakiti kaum santri yang kini masih bersikap seperti itu karena adanya satu keperluan dan pemahaman.

''Saya ngenes saja. Sebab, konservatisme berbeda dengan sikap dukungan kepada terorisme. Apalagi dalam Islam mendengarkan musik hukumnya terjadi khilafiah atau diperdebatkan. Yang jelas mendengarkan musik itu hukumnya mubah,'' katanya lagi.

Apakah ciri tak mau mendengarkan musik itu misalnya sebagai ciri pendukung gerakan Darul Islam yang tengah ditelitinya? Al Chaidar menjawab juga tidak. Orang atau pengikut Darul Islam misalnya tidak mendengarkan musik karena tidak ada asupan soal itu. Dan kalau musiknya dianggap bagus mereka bersedia saja.

''Sekali lagi, jangan terlalu gampang simplikasi masalah. Ini termasuk Islamophobia yang akut,'' tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler