Mahasiswa UMM Manfaatkan Limbah Kedelai Jadi Abon

Kulit ari kedelai dimanfaatkan menjadi abon dan telah mendapatkan label produk.

Humas UMM
Sejumlah mahasiwa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan pendampingan pemanfaatan limbah kulit kedelai di Desa Tanjungtani, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk.
Rep: Wilda Fizriyani Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Limbah produksi masih menjadi momok tersendiri di Indonesia. Mulai dari kurangnya usaha daur ulang hingga perusakan lingkungan.

Melihat masalah tersebut, sejumlah mahasiwa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan pendampingan pemanfaatan limbah kulit kedelai di Desa Tanjungtani, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk. Pengabdian ini dilakukan melalui Program Kreatifitas Mahasiswa-Pengabdian Masyarakat (PKM-PM) yang telah lolos pendanaan dari Direktorat Jendral Perguruan Tinggi (DIKTI), Mei lalu.

Ketua tim, Siti Mariyatul Qibliyah mengatakan, Desa Tanjungtani menjadi salah satu sentral tempe dan tahu di Nganjuk. Namun limbah produksi berupa kulit ari kedelai tidak dimanfaatkan dengan baik. Hanya segelintir orang yang melakukan pemanfaatan ulang.

Ia dan tim melihat adanya peluang bagi warga setempat untuk mencoba memanfaatkan kulit ari kedelai. “Karena kulit ari kedelai ini (bisa) menjadi produk yang memiliki nilai jual,” ucapnya.

Adapun proyek PKM-PM ini ditargetkan kepada ibu-ibu PKK sebagai mitra. Ia dan tim telah melakukan pendampingan sejak Juni hingga Agustus. Terhitung sudah 18 kali mereka mendampingi dalam berbagai aktivitas.

Menurut Siti, ibu-ibu PKK yang menjadi mitra diajarkan bagaimana memanfaatkan kulit ari kedelai hingga akhirnya menjadi abon dan mendapatkan label produk. Mereka juga diajarkan bagaimana cara distribusi produk dan uji kandungan pada lembaga pemerintah.

Selain materi teknis, adapula pendampingan mengenai cara memasarkan produk, baik itu daring maupun luring. Ibu-Ibu Tanjungtani juga diajarkan pembukuan penghitungan pengeluaran dan pemasukan. Hal ini dilakukan agar UMKM yang dibangun menjadi ekonomi mandiri desa serta mampu bertahan ke depannya.

Menurut Siti, pendampingan yang dilakukan timnya berefek positif pada masyarakat. Mereka dapat memproduksi dan memasarkan produk secara mandiri. Adapun harga produk abon dipatok di kisaran Rp 15.000 hingga Rp 20.000.

"Menurut saya, ini adalah langkah yang positif karena para warga bisa memanfaatkan kulit ari kedelai yang sebelumnya hanya limbah menjadi produk yang memiliki nilai jual,” ungkapnya dalam siaran pers yang diterima Republika, Selasa (14/9).



BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler