Diplomat Inggris Ungkap China Bongkar Kubah Masjid Dongguan
Selain kubah, menara Masjid Dongguan juga sudah hilang.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kubah masjid dan menara masjid Dongguan yang berada di kota Xining, Provinsi Qinghai, China telah disingkirkan. Seorang diplomat senior Inggris Christina Scott turut mengomentari hal tersebut melalui akun media sosialnya.
Christina Scott yang juga merupakan wakil kepala misi Inggris di China mengunggah foto Masjid Dongguan di Twitter. Dalam foto yang diunggahnya terlihat Masjid Dongguan tidak lagi memiliki kubah dan menara yang merupakan gaya Islam.
"Buku panduan sudah ketinggalan zaman. Pergi ke Masjid Agung Dongguan. Jadi saya lakukan. Ditutup untuk renovasi yang tampaknya termasuk menghapus kubah dan menara," kata Scott dilansir di ABC, Rabu (15/9).
Satu orang menjawab: "Ketika saya berada di sana pada Juli, menara masih terlihat."
Beberapa orang lain membalas postingan Scott dengan foto-foto masjid itu di masa lalu. Foto tersebut menunjukkan masjid itu pernah memiliki kubah hijau besar dan dua menara tinggi yang menggabungkan elemen arsitektur tradisional Islam dan Cina.
Masjid Dongguan dibangun lebih dari 600 tahun yang lalu. Masjid tersebut dibangun abad ke-14 selama dinasti Ming.
Perubahan pada masjid terjadi di tengah tindakan keras yang sedang berlangsung terhadap Muslim dan komunitas agama lainnya di bawah "Sinisasi" agama Partai Komunis China (PKT) yang berkuasa. “Harapan utama PKC adalah membasmi agama dan gerakan yang berada di luar PKC,” kata dosen senior ilmu politik di Universitas James Cook Anna Hayes.
"Kami melihat ini dengan tindakan keras (berkelanjutan) dan penganiayaan terhadap Falun Gong pada 1990-an, dan kami telah lama melihatnya dalam hal orang Tibet, Kristen rumahan, Muslim dan sebagainya," ujar Hayes.
PKC percaya orang-orang akan mengganti agama dan keyakinan agama dengan cinta dan pengabdian terhadap partai. Pemerintah China meluncurkan rencana lima tahun pada 2018 untuk "Menyinkronkan" Islam. Di bawah rencana tersebut, ajaran Islam diharuskan mempromosikan Islam dengan karakteristik China dan patriotisme.
"Pemerintah China ingin Islam di China terlihat dan terdengar lebih China," kata pakar China barat di University of Sydney.
Karenanya segala sesuatu yang melambangkan koneksi ke dunia Islam yang lebih luas berpotensi dicurigai. “Dalam hal ini, kami melihat bangunan-bangunan yang menyerupai arsitektur Islam di Asia Selatan atau Timur Tengah dihilangkan, (seperti) kubah-kubah (masjid) yang khas,” kata Brophy.
"Ini telah terjadi di seluruh negeri, dan tidak hanya dalam kaitannya dengan bangunan keagamaan," tambah Brophy.
Sebuah laporan pada 2020 oleh Australian Strategic Policy Institute memperkirakan sekitar 16 ribu masjid di Xinjiang telah dihancurkan sejak 2017. Laporan tersebut segera dibantah oleh Pemerintah China dan disebut sebagai fitnah.
"Masjid-masjid dengan arsitektur Arab sekarang melebihi jumlah sekolah di beberapa kabupaten miskin di China," tulis Xi Wuyi dari Akademi Ilmu Sosial China dalam sebuah esai yang diunggah ke platform media sosial Weibo.
Profesor Xi mengatakan pembangunan masjid meningkat di bagian terbelakang di China barat, yang didanai oleh negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait. Sejak 2017, pemerintah China telah menerima kecaman internasional karena dugaan pelanggaran hak asasi manusia termasuk penahanan massal, kerja paksa, dan pengawasan di Xinjang. China mengklaim hal itu sebagai kamp untuk memerangi ekstremisme.
Sementara Uighur yang berbahasa Turki dan kelompok lain seperti Kazakh telah menjadi sasaran tindakan paling keras. Dalam beberapa tahun terakhir ada juga laporan tentang pembatasan yang berkembang pada ibadah bagi Muslim Hui, yang secara budaya lebih mirip dengan mayoritas Han China.
Misalnya, pada 2018 Muslim Hui berkumpul untuk mencoba menghentikan pembongkaran sebuah masjid di wilayah otonomi Ningxia Hui, yang menurut pihak berwenang telah dibangun tanpa izin. Scott, diplomat Inggris, tahun lalu memposting di Twitter tentang pemindahan kubah dan menara masjid lain di Ningxia Hui, di mana lebih dari sepertiga penduduknya adalah Muslim.
"Tujuannya jelas untuk mempermalukan pemerintah China dan meminta perhatian pada masalah ini. Pembatasan ekspresi kesalehan Islam sekarang menjadi topik sensitif dalam diplomasi China-Inggris, dengan beberapa tokoh Inggris baru-baru ini menerima sanksi dari China untuk advokasi publik mereka atas nama Uighur," kata Brophy tentang unggahan tersebut.