Laporan: Israel Akui Langgar Gencatan Senjata
Gencatan senjata dilaporkan akan bertahan setelah akhir pekan.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA — Gencatan senjata antara kelompok perlawanan Palestina Hamas dengan penjajah Israel dinilai masih akan bertahan setelah akhir pekan. Kesepakatan tersebut terjadi di tengah situasi saling mengancam antara Israel-Hamas-Presiden Donald Trump terjadi.
Al Mayadeen yang mengutip New York Times melaporkan, kesepakatan itu tampak di ambang kehancuran ketika Hamas mengumumkan akan menghentikan pembebasan tawanan Israel dari Gaza. Hamas pun menuduh Israel melanggar perjanjian gencatan senjata.
Sebagai tanggapan, Presiden AS Donald Trump memperingatkan pada Senin bahwa neraka akan terjadi jika semua tawanan Israel tidak dibebaskan dari Gaza dalam beberapa hari mendatang. Ancaman tersebut menurut Hamas semakin memperumit masalah.
Namun, Hamas segera tampak melunakkan pendiriannya. Sementara itu, Trump mengatakan kepada wartawan di Ruang Oval bahwa ia akan membiarkan itu menjadi keputusan Israel tentang apa yang pada akhirnya harus terjadi pada gencatan senjata.
Kendati demikian, NYT menyatakan kebuntuan tersebut menggarisbawahi sifat rapuh gencatan senjata dan prospek perpanjangannya yang semakin menipis setelah awal Maret saat gencatan senjata tersebut akan berakhir. Kecuali, jika negosiasi lebih lanjut menghasilkan kesepakatan.
Kebuntuan gencatan senjata dilaporkan terjadi karena seperti yang dituduhkan Hamas, penjajah telah gagal memenuhi komitmennya di bawah fase pertama gencatan senjata, yang dimulai pada 19 Januari. Fase pertama ini ditetapkan berlangsung selama enam minggu.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Israel akan memfasilitasi masuknya ratusan ribu tenda dan pasokan kemanusiaan lainnya ke Gaza—suatu kewajiban yang menurut Hamas belum dipenuhi.
Berbicara dengan syarat anonim, tiga pejabat Israel dan dua mediator mengakui bahwa tuduhan Hamas akurat.Namun, COGAT, badan militer Israel yang bertanggung jawab untuk mengawasi pengiriman bantuan ke Gaza, menolak klaim ini dengan mengatakan "Sepenuhnya salah"
Meskipun ada perselisihan, pejabat dan analis percaya masalah ini dapat diselesaikan dengan relatif mudah jika Israel setuju untuk mengizinkan lebih banyak bantuan masuk ke Gaza, menurut NYT.
"Kemungkinan besar mereka akan mencapai kompromi sebelum Sabtu,"ujar Ibrahim Dalalsha, direktur Horizon Center, sebuah lembaga penelitian politik di Ramallah. "Tetapi krisis ini merupakan awal dari krisis yang jauh lebih besar yang akan datang pada awal Maret," kata dia.
NYT menekankan bahwa tantangan yang lebih besar terletak pada persepsi luas bahwa Netanyahu sengaja menghalangi negosiasi atas kemungkinan perpanjangan gencatan senjata setelah awal Maret.
Pembicaraan awalnya dijadwalkan akan dimulai awal pekan lalu, tetapi Netanyahu menunda pengiriman delegasi ke Qatar—salah satu mediator utama—hingga awal pekan ini. Ketika tim Israel akhirnya tiba, tim tersebut terdiri dari tiga pejabat yang sebelumnya tidak memimpin negosiasi.
Menurut lima pejabat Israel dan seorang mediator, mandat mereka terbatas pada mendengarkan daripada terlibat dalam diskusi substantif, demikian catatan surat kabar tersebut.
Surat kabar tersebut juga mengutip dua pejabat yang mengetahui masalah tersebut yang mengatakan bahwa setelah mendengar usulan umum Qatar mengenai tahap pembicaraan berikutnya, delegasi Israel segera kembali ke Israel yang memperkuat persepsi bahwa Netanyahu mengulur waktu daripada secara serius mengupayakan perpanjangan gencatan senjata.
Ketika dimintai komentar, Omer Dostri, juru bicara Netanyahu, menyatakan bahwa Israel akan mengirim tim negosiasi setelah pemerintah Israel melakukan finalisasi terhadap posisinya.
Netanyahu telah berulang kali menegaskan bahwa Hamas tidak akan tetap berkuasa setelah perang berakhir, dan anggota koalisi pemerintahannya secara konsisten menganjurkan dimulainya kembali operasi militer untuk membubarkan kelompok tersebut.
Ancaman Hamas pada Senin secara luas dipandang sebagai upaya tidak hanya untuk mempercepat pengiriman bantuan ke Gaza tetapi juga untuk mendorong Netanyahu ke dalam negosiasi serius, kata NYT. Dia menambahkan bahwa analis juga menafsirkan langkah tersebut sebagai tanggapan atas pernyataan Trump baru-baru ini tentang "pengambilalihan" Gaza.
"Ada kemarahan di kalangan Hamas tentang tuntutan Netanyahu dan Trump agar Hamas diusir dari Gaza," kata Michael Milshtein, pakar Israel untuk urusan Palestina.
"Pengumuman kemarin merupakan semacam sinyal bahwa, jika Anda terus menuntut ini, akan ada beberapa krisis dramatis," tambahnya.