IDAI Ungkap Faktor Penyebab Kematian Anak Positif Covid-19
Mayoritas anak positif Covid-19 meninggal karena gagal napas, sepsis, dan komorbid.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut penyebab kematian anak akibat Covid-29 terbanyak dikarenakan faktor gagal napas, sepsis/syok sepsis, serta penyakit bawaan (komorbid). Ketua Bidang Ilmiah Pengurus Pusat IDAI, dr Antonius H. Pudjiadi SpA(K), mengatakan, tidak meratanya deteksi kasus Covid-19 menjadi faktor penyebab tidak tertolongnya pasien anak.
"Ini terjadi karena fasilitas tes PCR (polymerase chain reaction) dan fasilitas kesehatan yang berbeda," katanya dalam keterangan, Senin (27/9).
Antonius mengungkapkan, kapasitas tes PCR saat itu di Indonesia masih rendah. Di samping itu, anak bukan populasi prioritas untuk tes.
Laporan hasil riset IDAI tersebut juga menyebutkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) Covid-19 anak di Indonesia ini jauh lebih tinggi dibanding di negara lain, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Kapasitas pemeriksaan yang rendah membuat banyak kasus tidak terdeteksi.
Sekertaris Umum Pengurus Pusat IDAI, dr. Hikari Ambara Sjakti, Sp.A (K)Onk mengatakan, berdasarkan laporan tersebut, diperoleh CFR Covid-19 pada anak di Indonesia ialah 522 kematian dari 35.506 kasus suspek (CFR 1.4 persen). Angkanya 177 kematian dari 37.706 kasus terkonfirmasi Covid-19 (CFR 0.46 persen).
Baca juga : Rekomendasi IDAI untuk Pembelajaran Tatap Muka
Selain gagal napas, sepsis/syok sepsis, serta penyakit bawaan (komorbid), penyebab kematian pada anak ialah karena penyakit jantung bawaan, kelainan genetik, tuberkulosis (TBC), penyakit ginjal kronik, celebral palsy, dan autoimun. Sementara itu, 62 anak meninggal tanpa komorbid.
IDAI mencatat, selama Maret-Desember 2020 atau gelombang pertama pandemi di Indonesia, didapatkan 37.706 kasus anak terkonfirmasi terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Data Kemenkes pada waktu yang sama mendapatkan 77.254 kasus anak terkonfirmasi Covid-19 dari total kasus 671.778, yaitu sekitar 11.5 persen.
Perbedaan jumlah ini terjadi karena di penelitian ini yang terdata hanyalah kasus yang ditangani oleh dokter anak. Di sisi lain, Kemenkes juga masukkan data dari anak yang tidak bergejala dan hasil telusur kontak.