Pesona Masjid Pertama UEA yang Dirancang Arsitek Wanita
Banyak elemen dalam desain Masjid Gargash yang menyimpang dari norma.
REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Para pengendara yang melewati Jalan Umm Suqeim di Al Quoz, Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) tidak akan melewatkan pandangan mereka pada bangunan baru yang tampak putih bersih mencolok dan bercahaya. Bangunan baru dari lanskap industri itu adalah Masjid Mohamed Abdulkhaliq Gargash.
Masjid tersebut terlihat berkilau di bawah sinar matahari dengan bangunannya berwarna putih. Garis-garis kontemporernya nampak bersih dan mencolok serta indah dengan bagian di belakangnya pusat perbaikan mobil dan pekerjaan semen.
Bangunan itu tampak tidak biasa, namun begitu khas. Pesona yang terpancar dari masjid ini tidak lepas dari sosok di balik desain bangunannya.
Masjid ini adalah salah satu masjid pertama di UEA yang dirancang oleh seorang arsitek perempuan. Sosok tersebut ialah Sumaya Dabbagh, pendiri Dabbagh Architects.
Dabbagh dibesarkan di Arab Saudi dan mempelajari keahliannya di Inggris dan Paris, Prancis, sebelum akhirnya pindah ke UEA. Dabbagh adalah salah satu dari sedikit arsitek wanita Saudi dari generasinya dan di antara segelintir arsitek wanita yang memimpin praktik mereka sendiri di wilayah Teluk.
Memiliki keahlian demikian, Dabbagh justru mengaku kecewa mengetahui dia adalah salah satu wanita pertama di UEA yang menciptakan sebuah masjid. "Saya merasa sedih tentang hal itu. Saya pikir lebih banyak perempuan harus melakukan ini, itu memalukan. Saya berharap melihat lebih banyak perempuan merancang bangunan umum dan berpartisipasi dalam pengembangan kota kita," kata Dabbagh, dilansir di The National News, Senin (27/9).
Dabbagh mengatakan, perempuan sangat pandai membangun komunitas dan menyatukan orang-orang dan berkolaborasi. Menurutnya, itu akan menjadi hal yang sangat positif untuk memiliki lebih banyak wanita bagi industri mereka.
Dabbagh sebelumnya mendapatkan pengalamannya di proyek-proyek budaya, termasuk Pusat Arkeologi Mleiha yang sangat terkenal di Sharjah. Proyek ini dianugerahi penghargaan Architecture MasterPrize (2020), antara lain, dan dinominasikan untuk Aga Khan Awards (2018).
Masjid Gargash mampu menampung 1.000 jamaah. Merancang masjid ini adalah tantangan baru bagi Dabbagh.
"Kami ingin menciptakan surga, hampir seperti permata di antara gudang industri berpasir di sekitar sini," kata Dabbagh.
"Kami ingin membuat sesuatu yang mengacu pada arsitektur Islam, tetapi dengan cara yang lebih kontemporer. Jadi kami menafsirkan ulang banyak pola Islam tradisional, dan benar-benar menyederhanakan sampai kami sampai pada pola segitiga ini yang telah kami gunakan selama ini," lanjutnya.
Struktur yang dihasilkan benar-benar bagus dan tenang, dengan sebuah oasis yang meneduhkan berada di samping hiruk pikuk jalan raya yang sibuk. Begitu jamaah memasuki gerbang masjid, mereka dibawah dalam perjalanan dari dunia material luar, melalui sebuah halaman yang teduh, menuju area wudhu, dan kemudian ke ruang sholat.
Sementara itu, jendela berbentuk segitiga melubangi dinding masjid, sehingga memungkinkan masuknya pecahan cahaya yang dinamis. Selain itu, terdapat ayat-ayat Alquran yang dipilih dengan cermat yang ditempelkan ke dinding di sekitar mihrab, dan dicetak ke fasad eksterior bangunan.
Tujuan kaligrafi luar ini adalah untuk menciptakan pita pelindung metaforis di sekitar masjid. Sementara ayat berbunyi "Yang Maha Penyayang" yang tertulis di dinding menanamkan sebuah energi suci di seluruh bangunan masjid.
Banyak elemen dalam desain Masjid Gargash yang menyimpang dari norma. Tidak ada jendela berbentuk tradisional, melainkan desain unik yang membutuhkan waktu untuk diterima oleh para perencana.
Sementara itu, mimbar tempat imam berdiri untuk memimpin sholat diatur ke satu sisi, membiarkan ceruk mihrab menyekat kosong secercah cahaya dari langit-langit di atas kepala. Selanjutnya, menara masjid terpisah dari bangunan utama masjid.
Dabbagh menempatkan keberlanjutan di jantung proyek ini, meletakkan cladding atau pelapis bangunan dan alumunium lokal, serta batu dari Oman. Material yang digunakan adalah sesuatu yang terbukti berkah tatkala bahan bangunan impor tertunda oleh halangan Terusan Suez dan Covid-19.
Pembangunan yang bertanggung jawab adalah salah satu pendorong utama praktik Dabbagh, bersama dengan tekadnya untuk mematahkan stereotip yang umumnya dipegang tentang perempuan Teluk dan Arab.
"Saya hanya berharap semakin banyak perempuan yang terus menerapkan dan didukung untuk mempraktikan demikian, untuk menciptakan arsitektur yang lebih relevan karena menurut saya semakin beragam produk, semakin kaya," tambahnya.