DPD RI yang Sedang Mencari Jati Diri
Ada dua jati diri yang dapat dilihat dari alasan mengapa DPD RI dilahirkan.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Hidayah, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
Dalam rangka menyambut hari parlemen Indonesia yang jatuh pada 16 Oktober 2021, dan juga memperingati hari ulang tahun ke-17 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) pada 1 Oktober 2021, saya tertarik untuk membahas mengenai DPD RI sebagai sebuah lembaga negara yang lahir dari semangat reformasi melalui Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Layaknya remaja yang berusia 17 tahun, sampai saat ini DPD RI terkesan sedang mencari jati diri. Setidaknya, terdapat dua jati diri yang dapat dilihat dari alasan mengapa DPD RI dilahirkan.
Pertama, penyambung kepentingan daerah dengan kepentingan pusat. Sampai saat ini, peran DPD RI sebagai penyambung kepentingan daerah dan kepentingan pusat belum optimal.
Hal ini terlihat dari minimnya peran DPD RI dalam proses pembahasan undang-undang yang berkaitan dengan daerah, seperti Undang-Undang Masyarakat Adat, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), dan lain-lain. Padahal, seharusnya DPD RI dapat berbicara banyak terkait hal tersebut mewakili daerah dan konstituen yang diwakilinya.
Alasan kedua adalah sebagai representasi daerah dan tidak terafiliasi dengan partai politik. Jati diri ini pun nyatanya belum sepenuhnya dipahami oleh para anggota DPD RI. Contoh kasus, pada kepengurusan DPD RI periode 2014-2019, beberapa anggota DPD RI, bahkan pimpinanya pun, masuk ke dalam kepengurusan partai politik. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa DPD RI sampai saat ini terkesan masih dalam proses mencari jati diri.
Mengoptimalkan Kewenangan DPD RI
Belakangan ini, banyak pandangan tentang pembubaran DPD RI dikarenakan lembaga negara tersebut tidak terlihat peran dan efektifitasnya. Jika dilihat dari sejarahnya, lahirnya DPD RI merupakan sebuah semangat reformasi, demokratisasi, serta sebagai penyeimbang kekuatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) yang pada saat itu terlalu dominan. Hasilnya, Indonesia kini menggunakan sistem bikameral atau dua kamar karena memiliki dua lembaga legislatif.
Tidak bisa dipungkiri bahwa secara kewenangan, DPR RI lebih memiliki kekuatan dibandingkan dengan DPD RI. Saat ini, DPD RI hanya memiliki kewenangan untuk mengusulkan, membahas, serta memberikan pertimbangan.
Tidak adanya kewenangan untuk memutuskan membuat DPD RI cenderung hanya sebagai “Dewan Pertimbangan DPR RI” dikarenakan DPD RI yang terkesan “mengekor” ataupun hanya mengikuti DPR RI. Hal ini membuat konsep keseimbangan antara DPD RI dan DPR RI tidak berjalan sebagaimana mestinya karena DPR RI cenderung lebih dominan.
Untuk itu, dibandingkan dengan membubarkan, langkah lebih bijak adalah pengoptimalan kewenangan yang dimiliki saat ini. Setidaknya, terdapat tiga kewenangan yang bisa dioptimalkan. Misalnya meningkatkan kewenangan mengajukan usulan dalam proses legislasi.
Saat ini, dari total keseluruhan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ada di program legislasi nasional (Prolegnas), DPD RI hanya mengusulkan 55 RUU. Bahkan, dari jumlah tersebut, hanya 2 RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas, yaitu RUU tentang Daerah Kepulauan dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa.
Sebagai perbandingan, Pemerintah mengajukan 83 RUU yang masuk ke dalam Prolegnas dan 12 di antaranya masuk ke dalam Prolegnas Prioritas. Sementara, DPR RI mengajukan 183 RUU dan 22 di antaranya masuk ke dalam Prolegnas Prioritas. Jumlah ini memperlihatkan bahwa kewenangan DPD RI dalam mengusulkan belum maksimal. Karena itu, kewenangan DPD dalam proses legislasi perlu dimaksimalkan.
Kewenangan kedua yang dimiliki oleh DPD RI terkait legislasi adalah kewenangan untuk membahas. Jika mengacu pada dua RUU yang dibawa DPD RI dan masuk ke dalam prolegnas prioritas yaitu RUU tentang Daerah Kepulauan dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa, kedua RUU ini sampai saat ini belum disahkan, bahkan prosesnya masih berada di tahap awal.
Selain itu, tidak terlihat pula peran DPD RI dalam pembahasan RUU lainnya yang berkaitan dengan daerah, seperti RUU Masyarakat dan lain-lain. Dari sini terlihat bahwa kewenangan DPD RI dalam membahas dalam proses legislasi masih sangat minim.
Minimnya kewenangan pembahasan yang dilakukan oleh DPD RI membuat kewenangan memberikan pertimbangan pun menjadi tidak terlihat. Untuk itu, penting bagi DPD RI untuk aktif dalam setiap pembahasan RUU sehingga dapat memberikan pandangan dan masukan kepada DPR RI dalam membuat undang-undang.
Selain pengoptimalan, penting bagi DPD RI untuk mengkomunikasikan kepada publik tentang apa yang telah dilakukan. Sebenarnya, terdapat beberapa RUU yang saat ini tengah dibahas dan ramai diperbincangkan oleh publik yang merupakan inisiatif DPD RI.
Sebagai contoh, RUU tentang Perlindungan Data Pribadi, RUU tentang Sistem Olahraga Nasional, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU tentang Ketahanan Keluarga, dan lain-lain. Namun, pembahasan RUU ini terkesan tidak menampilkan DPD RI sebagai pihak yang mengusulkan dan lebih didominasi oleh DPR RI.
Dengan demikian, penting bagi DPD RI untuk dapat mengkomunikasikan dengan baik terkait apa yang mereka kerjakan. Lebih lanjut, DPD RI saat ini menjadi lembaga negara yang lebih yang dipercaya oleh publik (52%), jika dibandingkan dengan DPR RI (50%) dan mengacu pada hasil survei dari Indikator yang dilakukan pada periode 17-21 September 2021 (Indikator, 2021).
Dengan memahami alasan mengapa DPD RI dilahirkan, penting untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada DPD dalam proses legislasi. Selain itu, DPD juga perlu diberikan ruang lebih luas untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah dalam proses kebijakan.
Komunikasi publik DPD dalam menjalankan tugas dan fungsinya juga harus terus ditingkatkan. Dengan demikian, diharapkan DPD akan menemukan jati dirinya dan masyarakat juga dapat berharap banyak kepada DPD RI sebagai penyambung kepentingan daerah.