Polisi Banting Mahasiswa: Jatuhkan Sanksi, Naikkan Reputasi

Dibanting keras dengan risiko mencederai tulang punggung dan bagian kepala.

Twitter/@AksiLangsung
Aksi polisi membanting mahasiswa yang berdemonstrasi di Tangerang viral di media sosial.
Red: Karta Raharja Ucu

Oleh : Abdul Rachman Thaha, Anggota Komite I DPD RI

REPUBLIKA.CO.ID, Mari kita tidak nihilkan kerja-kerja kebaikan polisi. Polri sejak dulu berupaya meyakinkan publik bahwa mereka telah melakukan kerja-kerja penegakan hukum atas berbagai peristiwa di tengah masyarakat. Namun bisa dibilang sangat sedikit orang yang tahu tentang bagaimana Polri menjatuhkan sanksi, apalagi memberlakukan hukum pidana kepada para personelnya yang mencederai masyarakat dan bertindak tidak profesional lainnya.

Dalam bingkai itu, kabar positif datang dari kasus "smackdown" di Tangerang Selatan. Polri berjanji akan memberikan tindakan tegas terhadap personelnya yang melakukan aksi "smackdown" terhadap mahasiswa.

Kesanggupan untuk mengenakan sanksi, lalu menyampaikannya ke publik, saya nilai sebagai cara membangun budaya akuntabilitas di lingkungan Polri. Tiga nilai dalam budaya akuntabilitas yang terefleksikan dari penjatuhan sanksi itu adalah integritas, responsibilitas, dan transparansi.

Memang, penyikapan yang bisa dilakukan sesungguhnya tidak sebatas pada lingkungan organisasi semata. Mekanisme hukum formil pun bisa diselenggarakan untuk memaksimalkan akuntabilitas kepolisian tersebut. Pastinya, perlu disisir kasus demi kasus, agar tidak setiap misconduct oleh personel Polri ditangani secara pidana.

Menilai pengenaan sanksi bagi personel merupakan langkah yang sangat baik, saya menantikan adanya data lengkap dari Polri tentang bagaimana pendisiplinan dan pemidanaan itu telah dilakukan secara internal. Ketersediaan data tentang hal itu tidak semestinya dipublikasikan secara insidental sebagai respon atas kegemparan di publik.

Polri tidak usah khawatir bahwa data semacam itu akan mendelegitimasi institusi. Justru ketersediaan data, sebagai refleksi kejujuran (transparansi) institusi Polri, akan meyakinkan masyarakat tentang kesanggupan korps Tribrata menjadi agen perubahan sosial. Bahwa, polisi tidak hanya menegakkan hukum di masyarakat, tapi juga menegakkan hukum di jajarannya sendiri.


Baca juga : Polisi Banting Mahasiswa, Polri Akui Ada Kesalahan Prosedur


Kembali ke masalah "smackdown". Dikabarkan bahwa personel bersangkutan membanting mahasiswa secara refleks. Pengakuan tersebut justru memunculkan pertanyaan, bagaimana sesungguhnya program diklat bagi personel Brimob. 'Refleks' mengindikasikan bahwa penggunaan kekerasan mengabaikan tata urutan (prosedur) penanganan yang semestinya.

Alhamdulillah, mahasiswa itu masih hidup dan relatif sehat. Dibanting keras dengan risiko mencederai tulang punggung dan bagian kepala, di mata saya sangat mengerikan. Kelumpuhan, gegar otak, koma, itulah yang sempat saya bayangkan.

'Refleks' juga menggambarkan lemahnya kontrol emosi personel bersangkutan. Pada titik itulah saya ingin mengingatkan Polri agar selalu meng-upgrade kurikulum diklat personelnya. Termasuk diklat Brimob.

Jangan sampai, sadar tak sadar, ketegasan ekstra yang Polri lakukan sebagai respon terhadap situasi pandemi juga meluber ke pola-pola pengamanan aksi penyampaian aspirasi. Tak dapat disangkal, 'demi menghentikan pandemi' jangan sampai mengekang demokrasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler