WHO: 180 Ribu Tenaga Medis Dunia Jadi Korban Covid-19

WHO mengkritik ketidakadilan dalam distribusi vaksin.

ANTARA/ Fakhri Hermansyah
Petugas medis (kanan) menyuntikkan vaksinasi COVID-19 kepada warga di Duren Sawit, Jakarta Timur, Jumat (15/10/2021). Menurut data Satgas COVID-19 sebanyak 104 juta masyarakat telah mengikuti vaksin tahap pertama dan 60 juta sudah mendapat vaksin dosis kedua dari target 208 juta orang untuk sasaran vaksin nasional.
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, covid sangat mempengaruhi staf layanan kesehatan. Pandemi ini mungkin telah 'membunuh' antara 80 ribu hingga 180 ribu tenaga medis.

Baca Juga


Kepala WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, petugas kesehatan harus diprioritaskan untuk vaksin. Ia juga mengkritik ketidakadilan dalam distribusi vaksin.

Angka kematian tersebut terjadi antara Januari 2020 dan Mei tahun ini. Sebelumnya, pejabat senior WHO lainnya memperingatkan kurangnya vaksinasi bisa membuat pandemi berlanjut hingga tahun depan. Saat ini, diperkirakan ada 135 juta petugas kesehatan di seluruh dunia.

"Data dari 119 negara menunjukkan bahwa rata-rata, dua dari lima petugas kesehatan di seluruh dunia telah divaksinasi penuh. Tapi tentu saja, rata-rata itu menutupi perbedaan besar antar wilayah dan kelompok ekonomi," kata Dr Tedros, dilansir di BBC, Jumat (22/10).

Kurang dari satu dari 10 petugas kesehatan divaksinasi penuh di Afrika, kata Dr. Tedros, dibandingkan dengan delapan dari 10 di negara-negara berpenghasilan tinggi.

Kegagalan untuk menyediakan vaksin yang cukup kepada negara-negara miskin disorot sebelumnya oleh Dr Bruce Aylward, seorang pemimpin senior di WHO, yang mengatakan itu berarti krisis Covid dapat dengan mudah berlarut-larut hingga 2022.

Kurang dari 5 persen populasi Afrika telah divaksinasi, dibandingkan dengan 40 persen di sebagian besar benua lain.

Sebagian besar vaksin Covid secara keseluruhan telah digunakan di negara-negara berpenghasilan tinggi atau menengah ke atas. Afrika menyumbang hanya 2,6 persen dari dosis yang diberikan secara global.

Ide awal di balik Covax, program global yang didukung PBB untuk mendistribusikan vaksin secara adil, adalah bahwa semua negara akan dapat memperoleh vaksin, termasuk bantuan dari negara kaya.

Namun, sebagian besar negara G7 memutuskan untuk menahan diri begitu mereka mulai membuat kesepakatan pribadi dengan perusahaan farmasi.

Dr Aylward mengimbau negara-negara kaya untuk menyerahkan tempat mereka dalam antrian vaksin. Dengan begitu, perusahaan farmasi dapat memprioritaskan negara-negara berpenghasilan rendah.

"Saya dapat memberitahu Anda kita tidak berada di jalur. Kita benar-benar perlu mempercepatnya atau Anda tahu? Pandemi ini akan berlangsung selama satu tahun lebih lama dari yang seharusnya," katanya.

Aliansi amal The People's Vaccine telah merilis angka baru yang menunjukkan hanya satu dari tujuh dosis yang dijanjikan oleh perusahaan farmasi dan negara-negara kaya benar-benar mencapai tujuan mereka di negara-negara miskin.

Aliansi, yang mencakup Oxfam dan UNAids, juga mengkritik Kanada dan Inggris karena pengadaan vaksin untuk populasi mereka sendiri melalui Covax.

Baca juga : Wiku: Waspadai Gelombang Ketiga Covid-19

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler