Kak Seto Ungkap Alasan Kekerasan di Sekolah Saat PTM
Ia menekankan sangat perlu selalu menjaga kesehatan fisik dan mental bagi guru.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penanganan pandemi Covid-19 yang semakin baik membuat pemerintah menerapkan sejumlah kelonggaran, seperti berlangsungnya pembelajaran tatap muka (PTM). Meskipun sangat dinantikan bagi banyak siswa, beberapa kasus kekerasan di lingkungan sekolah malah terjadi saat PTM baru digelar.
Psikolog Anak dan Ketua Lembaga Perlindungan Anak di Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menjelaskan beberapa alasan yang mendorong kekerasan terhadap anak terjadi saat PTM kembali digelar. “Saat pandemi, tidak hanya anak-anak yang stres tetapi juga orang dewasa. Kemudian saat PTM dibuka, seolah-olah permasalahan pribadi dilampiaskan kepada siswa,” kata pria yang akrab disapa kak Seto saat dikonfirmasi, Senin (1/11).
Pelampiasan ini yang berdampak pada kekerasan di lingkungan sekolah. Selama pandemi, ia menekankan sangat perlu selalu menjaga kesehatan fisik dan mental bagi guru.
“Ini artinya, masalah pribadi, ekonomi, dan keluarga jangan sampai dibawa ke sekolah. Jadi, sebagai guru harus profesional dengan emosi yang tertata dan terkendali,” ujar dia.
Menjaga kesehatan mental tak hanya berlaku pada guru tapi juga siswa. Kerap kali kecerdasan emosional lebih penting dibandingkan dengan kecerdasan intelektual.
Misal, siswa yang memiliki peringkat tinggi tapi tidak mampu mengendalikan emosionalnya akan berbuntut pada kegagalan. Ini yang membuat penekanan pendidikan dalam melatih kecerdasan emosional terhadap siswa sangat diperlukan.
Selain soal kesehatan mental, Kak Seto juga menyarankan untuk selalu membuat kondisi PTM menjadi suasana yang menyenangkan bagi anak. Ini mengacu pada Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Budaya Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.
Dalam hal ini, guru diminta tidak membebani siswa dengan menekankan pada penuntasan kurikulum. Pemahaman belajar tidak selalu soal akademis, tetapi belajar hal lain. Misal, belajar seni dan olahraga. Semua proses belajar dari sesuatu yang baru dapat dinikmati siswa sehingga muncul semangat belajar kembali.
“Yang jelas selalu menjaga kondisi mental anak, jangan sampai stres. Kalau anak stres dipaksa belajar ini bisa membuat ia berhenti belajar dan itu lebih berbahaya,” tambahnya.
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti hal tersebut. Beberapa di antaraya adalah tawuran antara dua SMAN di kota Bogor yang menewaskan seorang siswa, siswa SD di Musi Rawas Sumatra Selatan dikeroyok empat siswa, dan guru di Alor, NTT menganiaya siswa karena tidak membuat tugas.
Sebelumnya, Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan sejumlah kekerasan itu bukan salah PTM. “Semua peristiwa tersebut, bukan karena salah PTM, tetapi ini menunjukkan kekerasan di pendidikan terus terjadi, baik dilakukan sesama peserta didik maupun dilakukan oleh pendidik,” kata Retno dalam keterangan pers.