Kekejian Perang Tentara Ethiopia Versus Tigray

Komnas HAM Ethiopia menilai semua yang terlibat dalam konflik langgar hak asasi.

AP/Ethiopian News Agency
Gambar yang dibuat dari video tak bertanggal yang dirilis oleh Kantor Berita Ethiopia milik negara pada Senin, 16 November 2020 menunjukkan militer Ethiopia berkumpul di jalan di daerah dekat perbatasan wilayah Tigray dan Amhara di Ethiopia. Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengatakan dalam sebuah posting media sosial pada hari Selasa, 17 November 2020 itu
Rep: Umar Mukhtar Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, ADIS ABABA -- Semua pihak yang terlibat dalam konflik Tigray di Ethiopia dinilai telah melanggar hak asasi manusia internasional. Beberapa di antaranya bahkan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hal itu disampaikan dalam laporan investigasi bersama oleh Komisi Hak Asasi Manusia Ethiopia (EHRC) dan Kantor Hak Asasi Manusia PBB, dilansir dari BBC, Rabu (3/11).

Baca Juga


Komisi HAM mengatakan, eksekusi ekstra-yudisial, penyiksaan, pemerkosaan, dan serangan terhadap pengungsi dan orang-orang terlantar telah didokumentasikan.

Dalam laporan juga disebutkan kemungkinan ada bukti kejahatan perang ketika konflik pecah pada 4 November 2020. Ini dimulai ketika Perdana Menteri Ethiopia Abiy memerintahkan serangan terhadap pasukan regional di wilayah Tigray utara.

Pasukan pemerintah awalnya mengusir pemberontak, tetapi keadaan berubah pada Juni dengan para pejuang Tigrayan membuat keuntungan teritorial yang signifikan. Mereka kini dikabarkan mendekati ibu kota, Addis Ababa.

Pemerintah Ethiopia mengumumkan keadaan darurat jam setelah mendesak penduduk ibukota untuk mempersenjatai diri. Perang telah menciptakan krisis kemanusiaan. Ribuan orang telah tewas, jutaan mengungsi dan ratusan ribu di Tigray menghadapi kondisi kelaparan, menurut organisasi bantuan.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mengatakan konflik itu ditandai dengan kebrutalan ekstrem dan menyerukan gencatan senjata yang langgeng.

"Ada alasan yang masuk akal untuk mempercayai semua pihak dalam konflik ... baik secara langsung menyerang warga sipil dan objek sipil, seperti rumah, sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah, atau melakukan serangan membabi buta yang mengakibatkan korban sipil dan kehancuran atau kerusakan pada objek sipil," kata laporan itu.

Pembunuhan dan eksekusi di luar hukum juga telah dicatat. Laporan tersebut merinci bagaimana kelompok pemuda Tigrayan yang dikenal sebagai Samri membunuh lebih dari 200 warga sipil etnis Amhara di Mai Kadra pada November tahun lalu. Pembunuhan balas dendam kemudian dilakukan terhadap etnis Tigrayan di kota yang sama.

Tentara Eritrea telah bergabung dalam pertempuran konflik bersama pasukan pemerintah Ethiopia. Laporan menyatakan, tentara Eritrea membunuh lebih dari 100 warga sipil di Aksum di Tigray tengah pada November 2020.

"Kejahatan perang mungkin telah dilakukan karena ada alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa orang-orang yang tidak mengambil bagian langsung dalam permusuhan secara sengaja dibunuh oleh pihak-pihak yang berkonflik," kata laporan itu.


Laporan tersebut juga mengutip kasus-kasus kekerasan seksual termasuk pemerkosaan berkelompok yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang  menargetkan perempuan, laki-laki, anak perempuan maupun anak laki-laki.

Dalam satu insiden, seorang wanita berusia 19 tahun ditahan dan diperkosa berulang kali selama tiga bulan. Sebuah kasus seorang wanita penyandang cacat yang diserang secara seksual juga dilaporkan. Laporan itu mengatakan kekerasan seksual digunakan untuk merendahkan dan merendahkan martabat para korban.

Organisasi tersebut meminta pemerintah Ethiopia untuk melakukan penyelidikan menyeluruh dan efektif oleh badan independen dan tidak memihak atas tuduhan pelanggaran dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab.

Perdana Menteri Ethiopia Abiy mengatakan telah memerintahkan serangan militer November lalu sebagai tanggapan atas serangan terhadap pangkalan militer yang menampung pasukan pemerintah di sana. Eskalasi terjadi setelah berbulan-bulan perseteruan antara pemerintah Abiy dan para pemimpin TPLF, yang merupakan partai politik dominan di wilayah Tigray.

Pihak berwenang kemudian menyebut TPLF sebagai organisasi teroris dan mengesampingkan pembicaraan damai dengan mereka. Serangan darat baru pemerintah federal dalam beberapa pekan terakhir, termasuk menggunakan serangan udara, telah gagal menghentikan perolehan wilayah pemberontak.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu, Abiy mengatakan pemerintah memiliki "keberatan serius" tentang aspek laporan bersama tetapi menambahkan bahwa pemerintahnya berbesar hati bahwa penyelidikan tidak menetapkan klaim genosida terhadap Tigrayan dan tidak memberikan bukti bahwa pemerintah dengan sengaja menolak bantuan kemanusiaan kepada orang-orang di Tigray seperti dikatakan beberapa laporan.

Juru bicara Front Pembebasan Rakyat Tigray menyebut laporan itu penuh dengan sejumlah masalah. Menurutnya, keterlibatan EHRC adalah penghinaan terhadap gagasan ketidakberpihakan.

Darurat nasional

Dewan Menteri Ethiopia menyatakan negara dalam keadaan darurat. Status yang diberlakukan segara mungkin pada Selasa (2/11) diambil setelah milisi dari utara Tigray mengambil alih kota strategis Dessie dan Kambolcha di wilayah negara bagian Ambara.

Milisi Tigra yang sudah bertempur melawan pemerintahan federal selama setahun mengindikasikan bahwan mereka kemungkinkan akan bergerak ke selatan menuju ibu kota negara Addis Ababa.

Seperti dilaporkan Aljazirah, pemerintah mengatakan, tentara di lapangan masih terus berperang untuk mengendalikan kembali wilayah yang direbut. Kendati demikikan sehari sebelumnya, otoritas di Addis Ababa telah meminta kepada penduduk untuk segera mendaftarkan senjata mereka dalam dua hari mendatang dan bersiap untuk mempertahankan kota.

Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, lewat akun Facebook-nya juga telah mengimbau warga untuk mengangkat senjata melawan kelompok pemberontak Tigray. Ia ingin warga mengorganisir dan berbaris  ikut turun mengerahkan kekuatan menahan upaya Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF). Menurut Abiy, kemajuan pemberontak mendorong negara itu menuju kehancurannya.

Negara bagian Amhara, terletak lebih dari 300 km arah utara ibu kota, Addis Ababa. Dalam kicauan pada Senin (1/11), pemerintah Ethiopia mengatakan pemberontak segera mengeksekusi lebih dari 100 pemuda penduduk di daerah Kombolcha.




BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler