Banjir di Batu, Bak Respons Alam untuk Kicauan Siti Nurbaya

Banjir di Batu, Malang terjadi sehari setelah cuitan Menteri LHK soal deforestasi.

ANTARA/Zabur Karuru
Seorang warga mengamati rumahnya yang rusak akibat banjir bandang di Bulukerto, Kota Batu, Jawa Timur, Jumat (5/11/2021). Berdasarkan laporan sementara dari BPBD Kota Batu hingga hari kedua pencarian korban banjir bandang, tim SAR berhasil menemukan enam jenazah korban dan tiga korban masih dalam proses pencarian.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wilda Fizriyani, Febryan A, Mimi Kartika, Antara

Baca Juga


Banjir bandang menerjang Kota Batu setelah hujan deras mengguyur wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang berada di lereng Gunung Arjuno, pada Kamis (4/11). Berdasarkan laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu, terdapat enam titik yang mengalami banjir.

Pada Jumat (5/11), Wakil Wali Kota Batu Punjul Santoso megumumkan perkembangan jumlah korban banjir, yakni enam warga meninggal dan tiga warga dinyatakan hilang. Di media sosial, beredar viral beberapa rekaman video yang menggambarkan besarnya skala banjir bandang di Kota Batu.

"Laporan korban meninggal yang tadi malam (Kamis, 4 November 2021) lima orang. Hari ini (Jumat, 5 November 2021) diketemukan lagi jadi enam orang. Dan sudah teridentifikasi oleh pihak kepolisian," ujar Punjul kepada wartawan di Balai Kota Batu, Jumat (5/11).

Selain data korban, Punjul juga mengungkapkan, laporan kerusakan atau kerugian rumah maupun benda akibat banjir bandang. Berdasarkan data yang diterima pada Jumat (5/11) pukul 15.00 WIB, ada 22 rumah dan benda yang rusak akibat bencana tersebut.

Untuk menangani bencana ini, Pemkot Batu telah menyiapkan sejumlah upaya. Beberapa di antaranya kaji cepat dan mengevakuasi korban serta membersihkan material. Pada proses ini, Pemkot Batu dibantu sejumlah pihak, termasuk TNI, Polri, Polda, dan sebagainya.

Hal yang pasti, kata Punjul, pihaknya merekomendasikan tim untuk segera mencari korban yang belum ditemukan hingga saat ini. Kemudian melakukan pendataan kebutuhan darurat logistik serta obat-obatan. Lalu melanjutkan pembersihan material banjir bandang yang juga dibantu oleh sejumlah pihak.

"Berikutnya, kita juga melakukan perbaikan kerusakan akibat banjir tersebut," katanya.

Warga Desa Bulukerto, Bumiaji, Kota Batu, Johan, menjelaskan, banjir bandang yang menerjang wilayahnya menimbulkan suara gemuruh pada Kamis (4/11) sore. Air yang tiba-tiba datang dengan ketinggian hampir tiga meter membuat warga panik seketika. "Warga pun langsung berlarian menyelamatkan diri," ujar Johan kepada wartawan di Kota Batu, Kamis (4/11).

Pria berusia 32 tahun ini mengungkapkan, banz jir telah menyebabkan kamar mandinya rusak. Hal ini karena sejumlah bagian ruangan tersebut turut terbawa aliran sungai yang meluap. Selain kediamannya, ada lima rumah lainnya yang ikut rusak akibat terjangan banjir di Dusun Kliran dan Dusun Gemulo.

Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Jumat (5/11) menyatakan, berdasarkan asesmen sementara, banjir bandang telah berdampak di empat desa yang masuk dalam tiga wilayah kecamatan.

 


 

Ia memerinci, desa terdampak itu ada di Desa Tegalgondo di Kecamatan Karangploso, Desa Sidomulyo di Kecamatan Batu, serta Desa Tawangargo dan Desa Giripurno di Kecamatan Bumiaji. Terkait penyebab banjir, pihaknya menilai selain dipicu oleh faktor cuaca, bencana tersebut juga diduga terjadi karena adanya penyumbatan berupa material sampah kayu dan tumpukan bambu di hulu Sungai Susuh hingga setinggi kurang lebih 20 meter.

Pihaknya juga mendapatkan laporan satu unit jembatan mengalami rusak berat dan akses jalan terganggu genangan lumpur yang terbawa oleh banjir bandang. "Dalam rangka percepatan penanganan bencana banjir bandang, tim BPBD Kabupaten Malang telah berkoordinasi dengan lintas instansi terkait dan melakukan kaji cepat," ujarnya.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang menyatakan bahwa ratusan warga Kota Malang, Jawa Timur, harus mengungsi akibat banjir bandang yang melanda wilayah Kota Batu. Kepala BPBD Kota Malang Alie Mulyanto, di Kota Malang, Jumat, mengatakan, bahwa berdasarkan catatan, ada dua tempat pengungsian di wilayah Kota Malang, yakni pada Kelurahan Jatimulyo dan Taman Wisata Senaputra.

"Warga diungsikan karena rumah mereka berada di daerah rentan,atau rawan terhadap dampak banjir bandang," kata Alie.

Alie menjelaskan, di tempat pengungsian Kelurahan Jatimulyo ada kurang lebih 150 warga yang mengungsi. Kemudian, di Taman Wisata Senaputra juga terdapat 150 orang warga yang diungsikan karena terdampak banjir bandang.

Menurut dia, hujan deras di wilayah Kota Batu menyebabkan aliran Sungai Brantas meluap dan berarus deras. Kondisi tersebut membahayakan keselamatan warga. BPBD Kota Malang mencatat setidaknya tujuh rumah terdampak atau hanyut terbawa arus.

"Total rumah terdampak kurang lebih ada 150 unit. Untuk laporan rumah hanyut, untuk saat ini ada tujuh rumah. Tujuh itu roboh, atau hanyut, atau sebagian terkena dampak," ujar dia.

Berdasarkan laporan yang diterima BPBD Kota Malang, pada saat terjadi banjir bandang di wilayah Kota Batu, tidak lama berselang wilayah Kota Malang juga mengalami luapan air di Sungai Brantas. Luapan air disertai material lumpur dan puing.

In Picture: Pencarian Korban Banjir Bandang di Batu

Tim SAR gabungan bersama relawan dan warga membersihkan endapan lumpur akibat banjir bandang di Bulukerto, Kota Batu, Jawa Timur, Jumat (5/11/2021). Berdasarkan laporan sementara dari BPBD Kota Batu hingga hari kedua pencarian korban banjir bandang, tim SAR berhasil menemukan enam jenazah korban dan tiga korban masih dalam proses pencarian. - ( ANTARA/Zabur Karuru)

Melalui akun resminya, Profauna Indonesia menyatakan bahwa penyebab banjir bandang di Kota Batu, selain karena faktor curah hujan juga diduga kuat akibat dari alih fungsi hutan lindung di lereng Gunung Arjuna yang menjadi kebun sayur. Pada Jumat (5/11), tim Profauna bersama Perhutani KPH Malang terjung langsung ke lokaji banjir bandang di Batu.

Berdasarkan hasil penelusuran titik awal terjadinya banjir, yakni di dalam hutan arah Gunung Arjuna, Profauna berkesimpulan, ada tiga penyebab utama banjir tersebut. "Yakni curah hujan yang cukup tinggi, kayu-kayu bekas kebakaran hutan yang roboh yang menghalangi aliran air dan perkebunan sayur yang ditanam di kawasan hutan di lereng Gunung Arjuna," demikian keterangan Profauna, Jumat.

Adapun, Greenpeace Indonesia menegaskan, banjir bandang di Kota Batu adalah salah satu dampak dari krisis iklim. Intensitas hujan yang tinggi adalah salah satu bentuk dari cuaca ekstrem akibat perubahan iklim di Bumi. Manusia bisa mencegah krisis iklim menjadi lebih buruk dengan cara melindungi hutan dan lingkungan.

Selain menyinggung krisis iklim dan dampaknya menjadi banjir di Batu, Greenpeace Indonesia, lewat akun Instagram-nya juga menyoroti unggahan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya pada Rabu (3/11), sehari setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani komitmen mengakhiri deforestasi dan degradasi lahan 2030 dalam The Glasgo Leader Declaration on Forest and Land Use.

Dalam cicitan Siti Nurbaya yang kemudian viral dan sempat menjadi trending di Twitter itu, Menteri Lingkungan Hidup menyebut, pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.

"Ini pernyataan yang mengecewakan," tulis Greenpeace Indonesia, Kamis (4/11).

 

Sebelumnya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, Selasa (2/11), mengatakan, salah satu jawaban untuk krisis iklim adalah deforestasi. Namun, lanjut dia, tidak dipastikan dengan jelas apakah para pemimpin dunia termasuk Indonesia di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terkait iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, sepakat untuk target zero deforestation.

Bahkan, Iqbal menyebutkan, di tengah komitmen menekan laju deforestasi, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari 2,45 juta hektare (2003-2011) menjadi 4,8 juta hektare (2011-2019). Data KLHK juga menyebutkan, terdapat peningkatan laju deforestasi, dari 1,1 juta hektare per tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta hektare per tahun (2013-2017).

Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam dua tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua). Selama masa kepemimpinan Presiden Jokowi dan Menteri LHK Siti Nurbaya, hasil kajian Greenpeace menyebutkan, pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua mencapai 900 ribuan hektare.

Sisanya masih ada sekitar 600 ribuan hektare yang memiliki tutupan hutan alam. Jika kawasan ini pun dideforestasi, Iqbal menyebutkan, ada potensi sumbangan emisi yang lepas sebanyak 71,2 ton.

Menurut Greenpeace Indonesia, penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021 yang diklaim pemerintah itu terjadi karena situasi sosial politik dan pandemi yang membuat aktivitas pembukaan lahan terhambat. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi.

"Jadi, pada 2050 di dalam dokumen low carbon-nya itu Indonesia masih ada 6,5 juta hektare yang akan terdeforestasi atau sudah di dalam perencanaan atau sudah dalam pelepasan/pemberian izin. Kalau dengan kebijakan yang ada saat ini itu sampai 14,2 juta hektare yang akan terdeforestasi," kata Iqbal menjelaskan.

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, pengurangan emisi karbon dari sektor kehutanan, bukan berarti menghentikan penebangan pohon (deforestasi) sepenuhnya. Sebab, Indonesia masih melakukan pembangunan sehingga pembabatan hutan tak dapat dielakkan.

"Pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,'' kata Siti saat berbicara di hadapan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11) yang kemudian viral melalui unggahannya di Twitter, Rabu (3/11). 
 
Siti menjelaskan, Indonesia memang menargetkan netralitas karbon dari sektor kehutanan pada 2030. Jika memungkinkan, pada tahun tersebut, sektor kehutanan bisa menjadi negatif emisi atau terjadi penyerapan karbon. Program pengurangan emisi sektor kehutanan ini dinamakan FoLU Net Carbon Sink 2030. 
 
Namun, kata dia, FoLU Net Carbon Sink bukan berarti zero deforestation. Salah satu bentuk kegiatan FoLU Net Carbon Sink memang pengurangan laju deforestasi, tapi bukan berarti menghentikan deforestasi sepenuhnya. 
 
Sebab, kata Siti, Indonesia masih melakukan pembangunan sehingga pembabatan hutan pasti terjadi. Ia pun memberikan contoh dengan kondisi masyarakat di Kalimantan dan Sumatra. Di sana, masih banyak jalan yang terputus karena hutan rimba. Padahal, di sana terdapat lebih dari 34 ribu desa yang berada di kawasan hutan dan sekitarnya. 
 
''Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,'' kata Siti sebagaimana dikutip dari siaran persnya yang diterima di Jakarta, Rabu (3/11). 
 
Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation, ujar dia, sama dengan melawan mandat UUD 1945, yakni membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi. Kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan dan berkeadilan. 
 
Untuk itu, dia mengajak semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain. Sebab, ada perbedaan cara hidup dan juga tingkat pembangunan. 
 
''Kita juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia,'' ungkap Siti. 
 
Begitu juga terkait tingkat kemajuan suatu negara. Negara-negara maju, kata Siti, sudah selesai membangun sejak 1979-an. Selepas dari tahun itu, mereka sudah pada tahap menikmati hasil pembangunan. Wajar mereka bisa menghentikan deforestasi dan menargetkan nol-bersih emisi pada 2050. 
 
''Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional? Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya,'' tegas Menteri Siti.
 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler