IDAI: 1.346 Anak Indonesia Alami Diabetes Melitus Tipe 1
Sebagian besar kasus diabetes pada anak ialah diabetes melitus tipe 1.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angka kejadian diabetes meningkat di seluruh dunia hingga tercatat sebagai penyebab kematian nomor tiga. Bahkan, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, peningkatan ini juga terjadi pada anak-anak.
Populasi anak yang mengalami diabetes semakin meningkat dibandingkan 10 tahun lalu. Angkanya naik sekitar tujuh sampai 10 kali lipat.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr Piprim B. Yanuarso SpA(K), mengatakan ada dua jenis diabetes yang umumnya dialami oleh anak, yakni diabetes melitus (DM) tipe 1 dan tipe 2. Menurut data IDAI pada bulan Maret 2021, ada sekitar 1.282 anak di Indonesia menderita DM tipe 1.
"Namun, jumlah sebenarnya jauh lebih banyak dari itu, karena Indonesia memiliki kendala pencatatan. Ada pasien yang tidak berobat atau justru keburu meninggal sebelum tiba di layanan kesehatan," ujarnya pada acara media briefing virtual mengenai "Update Penanganan Diabetes pada Anak beserta Teknologinya", yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Sabtu (13/11).
Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi IDAI, Dr Muhammad Faizi SpA(K), mengungkapkan, kasus pada anak-anak paling banyak ialah DM tipe 1. Sisanya, sekitar 10 persen dari total pasien anak di Indonesia, menderita DM tipe 2.
Data terbaru IDAI pada November 2021, terdapat 1.346 anak menderita diabetes. Sebanyak 167 anak menderita DM tipe 2, sisanya DM tipe 1.
DM tipe 1, menurut Faizi, terjadi karena tubuh kekurangan insulin akibat adanya kerusakan pada sel beta pankreas. Sementara itu, pada DM tipe 2, produksi insulin cukup, tapi tidak bisa bekerja dengan baik.
"Hasilnya sama, yakni hiperglikemia atau kadar gula meningkat,” ungkapnya.
Faizi menjelaskan, DM tipe 1 sering kali hadir tanpa gejala. Tidak heran jika pasien sering datang terlambat ke layanan kesehatan.
"Pasien datang dalam kondisi sudah koma," kata Faizi.
Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman, baik dari orang tua maupun tenaga kesehatan. Sementara itu, DM tipe 2 gejalanya kurang tampak dan biasanya terjadi pada anak-anak obesitas dan anak yang kurang gerak.
"Sebanyak 60 sampai 70 persen anak-anak diabetes pernah alami kadar gula tinggi, koma, sesak napas, itu mengancam jiwa. Kondisi seperti ini mencerminkan bahwa ini adalah puncak gunung es, karena sebenarnya prevalensi di Indonesia lebih tinggi," paparnya.
Menurut Faizi, ada lima pilar mengatasi DM pada anak, yaitu pemberian insulin, pengaturan diet, aktivitas olahraga, monitoring kadar gula darah, dan edukasi. Executive Director International Pediatric Association (IPA), Prof Dr dr Aman Pulungan SpA(K) mengatakan, salah satu hal penting untuk diabetesi adalah insulin, terutama untuk anak DM tipe 1. Kendalanya, akses terhadap insulin masih rendah dan belum merata di Indonesia.
"Tanpa insulin anak meninggal kalau DM tipe 1. Anak juga meninggal akibat telat diagnosis,” ujar pria yang juga menjabat sebagai President Asia Pacific Pediatric Association (APPA) serta anggota Dewan Penasehat Physician International Society for Pediatric and Adolescent Diabetics (ISPAD) ini.
Deteksi dini
Piprim mengatakan, deteksi dini diabetes sangat penting untuk menyelematkan nyawa diabetesi. Pasien DM tipe 1 sering kali datang dengan kondisi lebih berat karena tidak terdeteksi dari awal.
Sementara DM tipe 2 adalah induk penyakit tidak menular yang menggerogoti biaya kesehatan. Apalagi, jika penyakit yang juga disebut kencing manis itu terjaadi sejak kanak-kanak.
"Anak remaja yang terdeteksi DM tipe 2, tentu saja akan berkembang menjadi DM tipe 2 pada dewasa. Aneka komplikasi yang mengerikan, seperti kebutaan, gagal ginjal, strok, dan lainnya, induknya adalah DM pada masa kanak-kanak dan remaja," ungkap Piprim.
Sebetulnya, sebelum menjadi terdiagnosis diabetes, ada suatu kondisi prediabetes. Ada beberapa tes, salah satu kriterianya menggunakan tes toleransi glukosa terganggu (TGT).
Di Indonesia, orang yang menjalani TGT pada 2018 dan terkonfirmasi pradiabetes ada 30,8 persen. Setidaknya, dari 10 yang menjalani tes ada tiga yang pradiabetes.
"Kalau tidak dikelola dengan baik akan menjadi diabetes tipe 2 di kemudian hari. Jadi deteksi pradiabetes itu sangat penting jauh sebelum terjadi diabetes," ujarnya.
Piprim mengungkapkan, ada beberapa parameter yang jauh lebih sensitif yang bisa dipakai untuk mendeteksi kondisi diabetes, yaitu parameter darah. Untuk mendeteksi adanya sindrom kardio metabolik, trigelserid harus di atas 150 mg/dl, kadar HDL di atas 40 mg/dl untuk laki-laki dan 50 mg/dl untuk anak perempuan, tekanan darah 120/80 untuk dewasa, untuk anak sesuai tabel.
Lingkar perut sekitar di bawah setangah dari tinggi badan. Gula darah puasa di bawah 100 mg/dl.
"Di Indonesia, sering kali anak datang sudah koma karena itu ada baiknya kita lakukan skrining lima parameter sindrom kardio metabolic pada anak dan remaja," tutur Piprim.
Atur pola makan
Piprim mengatakan angka diabetes semakin tinggi di seluruh dunia karena gaya hidup, terutama pola makan. Di masa pandemi, kejadian obesitas dan juga diabetes dilaporkan meningkat.
Di masa pembatasan sosial, anak-anak cenderung lebih banyak mengonsumsi camilan, khususnya yang memiliki indeks glikemik tinggi. Makanan tersebut akan merangsang keluarnya insulin dan dalam jangka panjang dapat merangsang resisten insulin hingga menimbulkan DM tipe 2.
Piprim menyarankan orang tua membatasi anak mengonsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik tinggi dan karbohidrat cepat serap. Makanan tersebut banyak mengandung gula tersembunyi.
"Ketika dikonsumsi terus menerus akan berbahaya bagi kesehatan anak-anak dan remaja, dan juga orang dewasa,” ujarnya.
Piprim merekomendasikan perbaikan gaya hidup untuk mencegah penyakit kronis. Selain dengan memperbaiki pola makan, melakukan aktivitas fisik juga diperlukan.
"Ini cara paling murah mencegah anak-anak dan diri kita sendiri untuk mencegah DM,” ujarnya.