Bank Sentral Afghanistan akan Lelang Dolar AS
Lelang dolar AS dilakukan untuk mencegah ambruknya mata uang lokal.
REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Taliban berupaya membendung jatuhnya nilai mata uang lokal, afghani dengan melelang 10 juta dolar AS di pasar terbuka. Bank sentral Afghanistan atau Bank Da Afghanistan mengatakan, uang dolar akan dilelang pada Selasa (16/11).
Bank sentral meminta bank swasta dan pedagang valas untuk ikut berpartisipasi dalam proses penawaran. Bank mengatakan, penawar akan diminta untuk membayar dolar dengan mata uang afghani.
Proses lelang terjadi ketika nilai mata uang afghani terhadap dolar AS mencapai level terendah dalam dua dekade. Nilai tukar 1 dolar AS setara dengan 95 afghani.
Awal pekan ini, Human Rights Watch menyerukan pelonggaran sanksi keuangan terhadap Afghanistan. Mereka mendesak PBB dan lembaga keuangan internasional untuk mencabut sanksi yang mempengaruhi ekonomi Afghanistan, serta sektor perbankan. “Ekonomi dan layanan sosial telah Afghanistan runtuh, warga Afghanistan di seluruh negeri sudah menderita kekurangan gizi akut,” kata Direktur Advokasi Asia di Human Rights Watch, John Sifton, dilansir Anadolu Agency.
Larangan mata uang asing
Taliban pada Selasa (2/11) mengumumkan larangan penggunaan mata uang asing di Afghanistan. Hal ini merupakan sebuah langkah yang dapat menyebabkan krisis ekonomi lebih lanjut.
"Islamic Emirate menginstruksikan semua warga, pemilik toko, pedagang, pengusaha dan masyarakat umum untuk melakukan semua transaksi di Afghanistan dan secara ketat menahan diri menggunakan mata uang asing. Siapa pun yang melanggar perintah ini akan menghadapi tindakan hukum," kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid, dilansir Aljazirah, Rabu (3/11).
Penggunaan dolar AS tersebar luas di pasar Afghanistan. Sementara daerah perbatasan menggunakan mata uang negara tetangga, seperti mata uang Pakistan untuk perdagangan.
Keputusan itu berdampak buruk pada sistem perawatan kesehatan Afghanistan dan sektor lainnya. Mereka berjuang untuk melanjutkan operasional di tengah pengurangan bantuan internasional.
Mantan Wakil Menteri Industri dan Perdagangan, Sulaiman Bin Shah, mengatakan, orang-orang Afghanistan membayar harga yang sangat mahal karena lambatnya proses diplomatik dan negosiasi.
Taliban mendesak Amerika Serikat (AS) untuk melepaskan cadangan bank sentral Afghanistan senilai miliaran dolar. Pemerintah Afghanistan sebelumnya yang didukung Barat, telah memarkir aset negara senilai miliaran dolar di Federal Reserve Amerika Serikat dan bank sentral lainnya di Eropa.
Selain itu, sejak Taliban kembali berkuasa, AS, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), memutuskan memblokir Afghanistan untuk mendapatkan aset dan pinjaman senilai lebih dari 9,5 miliar dolar AS. Kepergian pasukan pimpinan AS dan donor internasional, telah meninggalkan Afghanistan tanpa hibah yang membiayai tiga perempat belanja publik.
Program Pangan Dunia mengatakan, sekitar 22,8 juta orang atau sekitar setengah dari 39 juta penduduk Afghanistan menghadapi kerawanan pangan akut. Krisis pangan diperburuk oleh perubahan iklim yang sangat mengerikan di Afghanistan, bahkan sebelum Taliban kembali berkuasa.
Kelompok-kelompok bantuan mendesak dunia internasional agar tidak mengabaikan kepemimpinan Taliban. Hal ini untuk mencegah keruntuhan yang dapat memicu krisis migrasi serupa dengan eksodus dari Suriah yang mengguncang Eropa pada 2015.
Biden diminta terlibat
Mantan utusan khusus AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad, mengatakan pemerintahan Presiden Joe Biden harus terlibat dengan Taliban. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan guna meringankan krisis kemanusiaan yang terjadi di sana.
“Kita perlu duduk bersama mereka (Taliban) untuk menyetujui peta jalan yang memperhitungkan masalah ketidakpercayaan satu sama lain dan perilaku mereka (terhadap hak asasi manusia) yang kita harapkan akan terjadi, dan sebagai gantinya, langkah-langkah spesifik yang bakal kami ambil,” kata Khalilzad pada Rabu (27/10), dikutip laman Aljazirah.
Menurut dia, membiarkan pemerintahan baru Taliban berantakan akan memicu krisis kemanusiaan besar di Afghanistan. Jutaan warga di negara itu pun berpotensi melakukan migrasi. Dampaknya dapat menciptakan krisis di kawasan dan membuka ruang untuk terorisme.
Khalilzad mengungkapkan, saat ini Taliban sedang berupaya membangun hubungan normal dengan AS. Taliban berharap Washington membuka kembali kedutaannya di Kabul. Selanjutnya, AS diharapkan akan mencabut sanksi terhadap Afghanistan. “Taliban telah berubah dalam beberapa hal dan sama dalam hal lain. Mereka tetap berpegang pada perjanjian untuk tidak mengizinkan persekongkolan dan perencanaan oleh kelompok teroris melawan AS,” kata Khalilzad.