Pecandu Narkoba tak Dipenjara, Hadiah atau Jebakan?

Ketentuan minimal kepemilikan narkoba menjadi ruang abu-abu rehabilitasi.

Antara/Syifa Yulinnas
Sejumlah narapidana kasus narkoba yang berada dalam program rehabilitasi narkoba mengikuti lomba di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh, Aceh, Sabtu (14/8/2021). Pecandu narkoba masih banyak yang menjalani hukuman penjara. (ilustrasi)
Red: Joko Sadewo

Oleh : Ilham Tirta, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Aparat penegak hukum akhirnya mengambil langkah yang 'sedikit maju' terkait perlakuan terhadap para pengguna narkoba di Tanah Air. Pecandu narkoba dengan syarat tertentu kini tak lagi dijerakan melalui kurungan sangkar besi. Mereka cukup direhabilitasi. Penyidikan dan penuntutan akan mengatur itu.

Diawali oleh Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 yang meminta para jaksa tak lagi melakukan penuntutan dengan hukuman penjara terhadap para pengguna narkoba. Lalu diikuti Mabes Polri yang menerbitkan pedoman serupa untuk tahap penyidikan kasus pengguna narkoba.

Bagi penulis, penerbitan dua pedoman yang saling berkejaran pada awal November ini adalah penyegaran dan pelengkap. Langkah paling teknis ini sebenarnya telah lama ditunggu-tunggu. Sebab, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 54 telah mengatur itu. Pasal tersebut menyatakan, "Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Namun selama ini, pasal itu seperti tak bernyawa, jarang sekali digunakan dalam penyidikan di Polri dan penuntutan oleh kejaksaan. Akibatnya, puluhan ribu tersangka narkoba dilempar ke lapas-lapas di Indonesia setiap tahunnya. Hal itu membuat masalah baru di lapas. Interaksi antara bandar dan pecandu nakorba menghasilkan pasar tertutup di dalam lapas.

Karena itu, BNN telah lebih dulu menerapkan filosofi rehabilitasi terhadap pengguna narkoba. Mahkamah Agung (MA) juga telah mengelurkan surat edaran (SEMA 04/2010) kepada para hakim di pengadilan terkait isu ini. Namun, upaya kedua lembaga tersebut seakan tidak berdampak. Sebab, kepolisian adalah penentunya.

Sebagai ilustrasi, pada triwulan pertama tahun ini, ada 16.740 tersangka kasus narkoba yang ditahan. Sebanyak 16.300 di antaranya adalah tersangka kepolisian, sisanya milik BNN. Dari jumlah itu, 7.242 orang telah menjadi narapidana atau sudah divonis di pengadilan.

Saya ingat pada awal 2019 lalu, ketika berbicara usai wawancara dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly soal segitiga masalah narkoba di lapas, yaitu lapas menjadi pasar narkoba, penuhnya lapas oleh napi narkoba, dan banyaknya oknum aparat yang ikut bermain narkoba. Lebih dari lima kali Yasonna menyebut pengguna narkoba itu tidak harus dipenjara. Mereka adalah self victim's crime atau penjahat yang korbannya adalah diri mereka sendiri.

"Mereka itu harus direhabilitasi, karena itu victim crime, bukan membunuh, menganiaya, he hurts his self , itu victim crime, saya sekarang kerja sama dengan BNN, kepala BNN kan sekarang selalu bilang rehabiltasi," kata Yasonna saat itu.

Masalahnya, lapas telah menjadi pasar narkoba dan pengguna adalah konsumen yang patuh. Pada 2018, pengguna narkoba yang dipenjara sebanyak 20 ribu orang. Anehnya, jumlah napi bandar narkoba ada 180 ribu orang. Menurut Yasonna itu tidak mungkin lebih banyak toko dari pembelinya.

Tapi faktanya, ada sejumlah bandar yang dihukum sebagai pemakai narkoba. Begitu juga sebaliknya. Lagi-lagi, ini terkait kesanggupan aparat, untuk tidak menyebutnya tidak profesional. "Yang saya maksudkan adalah bahwa penegakan hukum harus dibenahi secara bersama-sama, masih perlu dibenahi," ia menekankan.

Pada gilirannya, pemakai yang kecanduan dan bandar yang licik, akan terus menggoda sipir lapas. Kita ingat pada September 2018, terungkap kasus jaringan narkoba yang melibatkan napi dan sipir di Lapas Lubukpakam, Deliserdang. Napi Dekyan memasok narkoba dari Malaysia dan merekrut napi lain agar membantunya di dalam lapas. Untuk melancaran aksinya Dekyan membayar petugas berkisar Rp 50 juta per pekan.

"Karena memang pasar narkoba ada di dalam lapas. Ini masalah nyata kita, maka paradigma kita setop, pemakai jangan kirim ke dalam lapas," kata dia.

Masalah lainnya adalah biaya dan tempat rehabilitasi. Ini menjadi salah satu alasan kenapa banyak para pecandu dibiarkan ke penjara. Negara belum mampu sepenuhnya menanggung keduanya.

Menurut Yasonna, semua biaya rehabilitasi harusnya ditanggung oleh keluarga pelaku. Pemerintah hanya akan menyediakan tempat rehabilitasi melalui APBN. Menkum HAM pada saat itu juga menjanjikan kerja sama dengan BNN bagaimana mendorong agar para pengguna narkoba tidak lagi dilempar ke penjara. Begitu juga terkait pemilahan mana yang pecandu dan bandar di dalam lapas. Sebab, yang mengetahui mereka bandar adalah BNN.

Karena itu, munculnya pedoman kejaksaan dan kepolisian itu menjadi angin segar. Kita tinggal melihat bagaimana dampak ketika pedoman itu benar-benar diterapkan. Ada enam syarat rehabilitasi pecandu narkoba dalam pedoman Jaksa Agung 18/2021. Di antaranya tersangka yang dinyatakan positif narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik, tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika, ditangkap tanpa barang bukti atau memiliki tidak melebihi pemakaian 1 hari.

Kemudian, dikualifikasikan sebagai pecandu atau korban penyalah guna narkotika berdasarkan hasil asesmen terpadu, belum menjalani rehabilitasi atau tidak lebih dari dua kali, dan surat jaminan menjalani rehabilitasi melalui proses hukum dari keluarga atau walinya.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak pada Selasa (9/11), menjelaskan, Pedoman Jaksa Agung tersebut, sebagai acuan para jaksa penuntut umum (JPU) di persidangan mulai 1 November 2021. Ia mengakui, upaya penjeraan selama ini berorientasi pada penjara 1 sampai 4 tahun.

Sementara, Wadir Tipidnarkoba Bareskrim Polri Kombes Jayadi pada Rabu (10/11) mengatakan, pihaknya sudah mensosialisasikan pedoman Kapolri terkait rehabilitasi pengguna narkoba tersebut. Menurut dia, seluruh jajaran Polri sudah bisa menerapkannya.

Menurut penulis, ada sejumlah hal yang harus benar-benar diperhatikan dalam merealisasikan pedoman tersebut. Pertama kesiapan para penyidik, terutama terkait syarat kepemilikan barang bukti tidak lebih dari satu kali pakai. Sebab, selama ini kepolisian kerap mengabaikan UU Narkoba karena mengikuti SEMA 04/2010.

Dalam SEMA itu, pengguna narkoba untuk sabu adalah bila dalam satu hari maksimal mengkonsumsi atau memiliki 1 gram dan 5 gram untuk ganja. Namun, sering kali seseorang yang ditangkap memiliki jumlah narkoba lebih dari ketentuan minimal tersebut sehingga syarat rehabilitasinya luntur. Penulis menduga hal ini sangat mungkin terjadi pada penerapan pedoman Jaksa Agung dan Polri.

Kedua, terkait assesmen terpadu. Jangan sampai hal ini menjadi ruang abu-abu yang bisa digunakan oknum dalam mengambil keuntungan materiil maupun emosinal. Selanjutnya, tentu saja masalah biaya rehabilitasi.

Kenyataannya, narkoba saat ini tidak lagi menjadi barang elite yang hanya bisa dijangkau si tajir. Karena itu, pemerintah harus membuat terobosan bagaimana menyeimbangkan biaya rehabilitasi bagi yang tergolong kaya dan miskin. Bisa saja dengan subsidi silang.

Rehabilitasi dalam pedoman itu adalah sebuah hukuman yang wajib dilakukan hingga benar-benar sembuh. Jika hal ini tersendat, maka sama saja bohong dan menghianati tujuan awal. Seperti tujuan awal pemenjaraan agar mereka jera melakukan perbuatan yang sama, maka kesembuhan pengguna narkoba dalam rehabilitasi adalah keniscayaan.

Jika tidak, sangat mungkin para pengguna itu akan tetap menjadi mangsa para bandar narkoba. Bukan kah itu menjadi sebuah jebakan?


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler