BI Waspadai Tapering, Gangguan Rantai Pasok, dan Inflasi

Transmisi pada ekonomi domestik diperkirakan cenderung rendah tekanan.

EPA-EFE/Bagus Indahono
Orang berjalan di antara pedagang kaki lima di Jakarta, Selasa (16/11). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi Indonesia tercatat sebesar 1,66 persen pada Oktober 2021, lebih rendah dari sebulan sebelumnya dan setahun sebelumnya di 1,60 dan 1,44 persen.
Rep: Lida Puspaningtyas Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) terus mewaspadai dampak tapering di Amerika Serikat terhadap kondisi ekonomi global. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan BI terus memantau tapering AS dan dampaknya di pasar termasuk rantai pasok global.


"Rencana The Fed sudah setiap pekan kita pantau terus, ada kejelasan ya bahwa Tapering itu bukan pengetatan likuiditas tapi pengurangan tambahan likuiditas di pasar AS," katanya dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur BI November 2021, Kamis (18/11).

Saat ini terjadi kelonggaran likuiditas yang signifikan di sektor keuangan AS. Sehingga tambahan likuiditas dari bank sentralnya dikurangi mulai bulan November 2021 ini. Perry mengatakan, BI tidak melihat pengaruh yang sangat signifikan.

"Tapi bukan berarti ketidakpastiannya mereda," katanya.

Adapun terkait kekhawatiran pada kekurangan rantai pasok global yang mulai terjadi, menurut Perry itu berkaitan dengan varian delta yang mempengaruhi mobilitas. Gangguan mata rantai global memang sudah mulai menurun, terlihat dari peningkatan aktivitas di sejumlah negara seperti China dan AS.

China telah mulai meningkatkan lagi produksinya, termasuk aktivitas di pelabuhan-pelabuhan AS. Namun, ini bukan berarti gangguan pada rantai pasok hilang. Masih ada tapi mulai menurun.

"Dua faktor gangguan yang masih terjadi yakni kurangnya ketersediaan pasokan dan adanya kenaikan permintaan, terutama energi dari negara maju dalam mempersiapkan musim dingin," katanya.

Ia berharap dengan produksi yang meningkat, maka tekanan terhadap rantai pasok global bisa mereda, termasuk pada ekonomi Indonesia. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti menambahkan perkembangan rantai pasok global terus dipantau BI. Secara umum, gangguan tersebut bersifat sementara.

"Ini karena adanya kenaikan permintaan seiring dengan Covid-19 mereda karena vaksinasi dan aktivitas usaha meningkat, namun belum bisa dikejar dengan produksi," katanya.

Ini terjadi di negara-negara maju khususnya AS sehingga terjadi inflasi. Destry mengatakan hal tersebut akan menjadi pelajaran bagi Indonesia. Meski demikian, gangguan rantai pasok ini diproyeksikan akan membaik seiring waktu untuk mencapai keseimbangan.

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo menambahkan, kecepatan dan besaran inflasi memang akan mempengaruhi pada respons kebijakan yang diambil. Maka dari itu BI terus memantau perkembangan global dan potensi dampaknya pada ekonomi nasional.

"Gangguan pasokan global memang jadi penyebab kenaikan harga, juga energy shortage memberikan dampak pada kenaikan harga," katanya. 

Namun ini masih diyakini sementara dan akan membaik pada pertengahan 2022. Dody mengatakan transmisi pada ekonomi domestik diperkirakan cenderung rendah tekanan. Inflasi domestik saat ini relatif terjaga, transmisi nilai tukar pada inflasi juga relatif rendah, serta pasokan domestik yang masih terjaga. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler