Politik Ulama untuk Masa Depan Aceh
Politik Ulama untuk Masa Depan Aceh
Aceh sebernarnya punya modal sosial yang sangat baik penegakan Syariâat Islam yang mampu menjadi landasan kemajuan dan kebangkitan. Modal sejarah, masyarakat yang sangat fanatik kepada agama, ulama dan hal-hal lain yang bersifat keagamaan. Namun perihnya, Syariâat Islam di Aceh tidak lebih seperti 'kerakap di atas bebatuan' di tengah segala keistimewaan serta regulasi yang ada pada kekhususan Aceh, termasuk yang terakhir dengan UU No 11 Tahun 2006 yaitu UUPA.
Ini semua memang ada hal yang melatarbelakanginya, antara lain karena akrabnya Aceh dengan sejarah peperangan yang menumbuhkan negatif sosio-cultural seperti pengkhianatan, saling curiga, tidak saling percaya dan rentan terhadap hasutan dan adu domba. Kondisi ini tentu saja mempengaruhi Aceh secara keseluruhan termasuk kepemimpinan baik formal dan non formal. Maka bagaimana mungkin kita harapkan Syariâat Islam berjalan ideal dalam kondisi seperti ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa tidak ada pemimpin Aceh baik pra dan pasca damai yang tahu dan memahami Syariâat Islam dengan pemahaman mayoritas masyarakat Aceh.
Kita juga melihat kurangnya iktikad baik untuk memprioritaskan Syariâat Islam di Aceh. Kondisi ini semakin diperparah oleh berbagai ungkapan rendah yang berlaku dalam masyarakat Aceh khususnya dan dunia Islam umumnya tentang politik dalam irisannya dengan ulama yang pada gilirannya membuat ulama dan umat ini menjauh dari kepemimpinan. Padahal ia merupakan penentu kebijakan terhadap umat Islam itu sendiri sehingga efeknya umat Islam terus termajinalkan.
Kita mendengar ungkapan-ungkapan rendah yang terus diulang-ulang oleh sebagian orang yang mungkin adalah pemikiran warisan penjajah, seperti âpolitik itu kotorâ. Dan bahwa mimbar-mimbar harus dibersihkan dari pembicaraan tentang politik !. Ungkapan lainnya, misalnya bahwa Islam wajib untuk tidak ikut campur dalam urusan politik dan ungkapan-ungkapan lain yang pada gilirannya menjadikan kaum muslimin berlari dari aktifitas politik. Sesungguhnya, inilah awal dari kerusakan.
Apa yang harus dilakukan?
Tentunya ulama tetap berpegang teguh kepada Alquran. Surat Ali Imran ayat 104 tegas meminta kita umat Islam agar âHendaklah ada sebagian di antara kalian umat yang menyeru kepada yang kebaikan (maâruf) dan mencegah kemungkaranâ. Jadi, ulama sebagai pemegang otoritas keagamaan sudah seharusnya melakukan sesuatu jika tidak mungkin melakukan semuanya untuk memperbaiki keadaan ini. Terlebih dalam ranah politik yang sangat menentukan seluruh aspek lainnya. Bisa saja dengan mempersiapkan kader kader terbaik untuk berkhidmat di berbagai sektor kehidupan dalam kontek perbaikan dan politik salah satu yang harus menjadi perhatikan utama, sebagaimana juga bidang-bidang lainnya yang ada kemungkaran disana.
Tujuan utama turut andilnya ulama di berbagai bidang dan mungkin khususnya politik adalah untuk perbaikan. Untuk ini tentu saja harus dipersiapkan kader yang mampu berkontestasi dalam alam demokrasi dengan politik liberalnya, sambil terus menawarkan paradigm politik makna (politik of meaning) yang berbasis moral. Namun untuk tujuan ini tentu saja banyak hal yang harus dilakukan dan dipersiapkan terlebih dahulu seperti memperbaiki ruang pemahaman politik untuk para santri sendiri dan masyarakat juga agar siap untuk berjalan di atas jalan yang penuh dengan onak dan duri yang tentu saja tidak mudah.
Namun yang pasti, ranah politik (kebijakan) kalau dilaksanakan dengan baik niscaya akan memberikan banyak kebaikan kepada umat. Terlebih bila konsep pemikiran wasathiyah yang menjadi ruh dari ajaran Alussunnah wal jama'ah bisa berlaku dan tentu saja ini butuh waktu dan dukungan serta keseriusan kita semua.
Imam Mawardi, seorang munazir siyasi yang sangat alim menyatakan dalam kitabnya Adabud Dunya Waddin (hal 217) bahwa ada enam hal yang harus diperhatikan untuk sebuah negara, masyarakat dan individu untuk bisa hidup dengan baik agar tercapai kualitas kekhalifahan dimuka bumi. Enam hal tersebut adalah: Dinun Hayyun atau agama yang hidup dan eksis, kepemimpinan yang efektif, keadilan yang merata, masyarakat yang kondusif, perputaran ekonomi yang merata dan profesional, gagasan yang membangun. Rasanya memperhatikan pernyataan dari Imam Mawardi secara umum maka para ulamalah yang paling berkompeten untuk mewujudkan masyarakat yang agamis dan sejahtera seperti yang digambarkan ini.
Meminimalisir dampak negatif
Tentu saja ada resiko ketika ulama menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar dalam bidang politik seperti halnya yang terjadi pada Rasulullah Saw. Rasulullah sebelum mengajak kepada kebaikan dan melarang kemungkaran yaitu menyembah berhala dan lainnya, beliau sangat dihormati dan bahkan digelar dengan Al Amin (orang terpercaya). Akan tetapi Rasulullah tidak hanya menjadi orang baik (Salih) tetapi juga memperbaiki (Muslih).
Saat menjadi muslih ini, kita tahu apa yang kemudian menimpa beliau, begitu berat tantangan. Maka begitu juga dengan ulama, kalau hanya berada di zona aman jadilah hanya orang baik(Shalih), dan pasti akan dihormati dan disanjung. Tetapi jika anda menjadi muslih (orang yang memperbaiki), maka anda akan dimusuhi dan dicaci maki, siapapun anda.
Meminimalisir dampak negatif ini caranya adalah dengan tetap berkonsisten dan berintegritas serta sabar dalam melakukan pekerjaan kebaikan. Kunci sukses adalah ikhlas kepada Allah Swt. Ada dua hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan ini, yang pertama secara internal keulamaan; yaitu pertama i'timad 'ala nafsih (cofinden) bahwa yang di lakukan adalah perbaikan dan ada kebaikan disana. Dengan ini kita harapkan pertolongan Allah bersama ikhtiar ini.
Yang kedua, harus membangun rasa saling percaya diantara sesama sebagai âda'i ilallahâ tanpa memandang dari mana mereka berasal. Kalau kita sudah saling percaya dan serta menjaga kekompakan, Insya Allah orang lain pun akan memberikan kepercayaan kepada kita. Seperti kata ulama âorang yang tidak punya tidak mungkin memberiâ. Ya, pasti kalau kita tidak punya rasa saling percaya bagaimana kita memberikan kepercayaan kepada orang lain.
Yang ketiga harus tau semua aturan main (rule of game) yang berlaku dalam kancah yang kita geluti, sehingga kita tau kapan dan dimana harus melakukan apa. Juga tau kapan harus berhenti misalnya ketika situasi menghendaki nya serta juga harus menghitung segala konsekuensi yang sedang dan akan dihadapi dengan tujuan tersebut.
Yang keempat ulama harus punya narasi (diksi) baru dan agamis dalam dakwah politik serta jauh dari sikap eksklusifisme seperti misalnya ada ungkapan "bah kamoe sigoe kalinyoe" tapi mungkin bisa di ganti dengan " kami ingin berkarya dengan berbuat kebaikan untuk umat agar jangan salah di depan Allah Ta'ala" misalnya. Dan seperti "natijah (hasil) yang kita peroleh untuk kita semua".
Yang kelima mungkin agar ulama sebagai pioner pergerakan harus tetap menjaga integritas, kompetensi dan rekam jejak karena itu semua sangat penting dalam menata kehidupan. Sementara secara exsternal, ulama juga harus melakukan beberapa hal, pertama, membangun kolaborasi dan kesepakatan secara positif dengan segala pihak baik pemuda, pengusaha, umara dan lainnya untuk mewujudkan tujuan ini.
Yang kedua, jangan pernah mengabaikan potensi sekecil apapun dari manapun mereka berasal bila itu bernilai kebaikan. Yang ketiga, ulama harus terus mendorong arus kebaikan menjadi mainstream perbuatan yang baik sehingga kebaikan menjadi semangat mayoritas umat. Wallahu aâlam bishahawab.
Penulis : Tgk Rasyidin Ahmad, SE, S.Sos.IPimpinan Dayah NURA Tijue Sigli. Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Kab. Pidie.