Mengenal Timo Tjahjanto, Sutradara Remake Train To Busan
Sutradara asal Indonesia, Timo Tjahjanto, arahankan Train to Busan versi Hollywood.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam waktu dekat, sutradara asal Indonesia, Timo Tjahjanto, akan mengerjakan proyek remake Hollywood untuk Train to Busan. Film zombie asal Korea itu akan berjudul Last Train to New York untuk versi Amerika.
Timo yang dikenal memiliki tangan dingin untuk film genre horor/aksi juga akan menggarap ulang Under Siege. Film horor Sebelum Iblis Menjemput yang memiliki judul internasional May The Devil Take You garapan suami dari model Sigi Wimala itu pernah mendapat undangan pemutaran di Fantastic Festival 2018 kategori official selection.
Penayangan dalam festival itu menandai pemutaran perdana May The Devil Take You di daratan Amerika Utara. Fantastic Festival menjadi rumah bagi film-film dengan orientasi genre unik seperti horor, laga, fantasi, dan fiksi ilmiah. Acara di bawah naungan European Fantasic Film Festival itu merupakan ajang prestisius dan berpengaruh di Amerika.
Selain Sebelum Iblis Menjemput (2018), Timo memiliki sederet filmografi, seperti The ABCs of Death (2012), V/H/S/2 (2013), dan The Night Comes for Us (2018). Selain itu, sutradara berusia 41 tahun ini pernah merilis Hit&Run (2019), Portals (2019), Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 (2020), dan V/H/S 94 (2021).
Bersama dengan Kimo Stamboel, yang tergabung sebagai The Mo Brothers, Timo juga menggarap sejumlah film. Mereka menghasilkan Dara (2007), Takut: Faces of Fear (2008), Rumah Dara (2009), Killers (2014), dan Headshot (2016).
Pada September lalu, Timo menerima penghargaan sutradara terhormat dari Sundance Film Festival 2021 Asia. Dalam acara tersebut, Timo berbagi pandangannya tentang alasannya bertahan dengan jenis genre horor/aksi.
"Bertahan di dalam jenis genre yang saya dalami, saya merasa saya punya keuntungan karena genre itu adalah sesuatu yang paling penonton mengerti, dari manapun asalnya," kata Timo dalam acara virtual The Future of South East Cinema.
Sebagai pembuat film, Timo selalu meyakini bahwa film adalah bahasa internasional yang melintasi batas. Filmnya Killers adalah yang pertama tayang di Festival Film Sundance.
Ini adalah pengalaman yang menarik bagi Timo, karena dia tiba-tiba merasa memiliki tantangan tersendiri setelah sukses di festival. Namun, meski suatu film sukses di festival, menurut dia, belum tentu film itu memperoleh kesuksesan saat rilis umum.
"Karena kami masih seperti berjinjit, seperti apa yang lokal inginkan, apa yang orang Jakarta inginkan, apa yang orang luar Jawa inginkan? Saya tidak merasa ada formula benar untuk itu, khususnya jika kita pembuat film yang ambisius," kata Timo.
Meskipun sukses dengan genre horor/aksi, Timo sempat mengalami masa sulit memulainya. Dia setuju dengan pendapat sutradara asal Filipina Mikhail Red bahwa pembuat film dari Asia Tenggara memiliki banyak tantangan.
Timo beranggapan salah satunya mungkin berasal dari kenyataan bahwa kehidupan di Asia Tenggara umumnya lebih sulit, sehingga orang cenderung mencari film komedi romantis untuk hiburannya. Tantangan tidak hanya dari sisi kreatif, tetapi juga komunikator, di mana pembuat film harus menjelaskan mengapa berbagai genre diperlukan di industri film.
Pembuat film bergenre memiliki keuntungan tambahan karena lebih mudah melakukan lintas batas daripada drama atau film terkait budaya tertentu. Pembuat film Asia Tenggara tidak memiliki akses yang sama, bahkan sesama tetangga di Asia, misalnya dengan Korea atau Jepang yang mereka memiliki fasilitas untuk efek fisik dan efek praktis yang hebat.
Sebagai pembuat film, produser, dan sutradara, Timo beranggapan terkadang musuh terburuknya adalah diri sendiri. Seseorang merasa nyaman dengan genre yang sukses sehingga hanya bertahan di jenis itu selamanya hingga menjadi stagnan. Dia percaya setiap negara mengalami ini.
"Saya percaya kuncinya adalah sebaliknya, variasi selalu seperti itu, jenis, rasa yang berbeda, dan warna yang berbeda," ujar Timo.