Anggota DPR: Pemerintah Harus Buat Kebijakan Siber

Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan umum tentang siber yang kuat

dok.Istimewa
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menanggapi terkait akun-akun pemerintahan yang sering diretas dan bocornya data-data yang penting. (ilustrasi)
Rep: Haura Hafizhah Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menanggapi terkait akun-akun pemerintahan yang sering diretas dan bocornya data-data yang penting. Menurutnya pemerintah harus buat kebijakan umum tentang siber yang kuat tentunya dalam koridor peraturan dan perundang-undangan.

"Disebutkan dalam UU RI No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) bahwa serangan siber merupakan ancaman terhadap negara. Karena itu, saya sangat menekankan perlunya peningkatan awareness para pimpinan lembaga terhadap data security, update technology, peningkatan kapasitas SDM dan anggaran. Yang lebih penting juga pemerintah harus mengeluarkan kebijakan umum tentang siber yang kuat, tentunya dalam koridor peraturan dan perundang-undangan," katanya kepada Republika, Ahad (21/11).

Kemudian, ia melanjutkan kondisi ketahanan dan keamanan siber (KKS) sangat lemah. Pekerjaan Rumah (PR) ini harus dikelola dari hulu hingga hilir. Pekerjaan hulu tentunya ada pada peraturan dan perundangan-undangan. Dunia maya perlu diatur agar tidak menjadi rimba belantara. Hingga saat ini baru UU ITE yang mengatur ranah siber.

Ia menambahkan terdapat peran penting legislasi dalam penguatan siber dari hulu. Jika gunakan diagram venn, maka himpunan semestanya adalah relasi internet dan manusia. Lalu di dalamnya ada himpunan KKS (cyber security and defense), keamanan data (data security), transaksi elektronik, cyber crime, perilaku manusia sebagai pengguna internet (digital/ information behavior), digital sovereignity dan semuanya beririsan pada soal pelindungan data yang salah satunya adalah pelindungan data pribadi.

"Nah, masih banyak himpunan yang kosong belum ada regulasinya. Karena itu penting adanya RUU KKS dan RUU PDP. Semoga RUU KKS bisa dimasukkan kembali dalam Prolegnas. Dan semoga RUU PDP segera selesai dan disahkan menjadi undang-undang," kata dia.

Ia mengingatkan kondisi yang mendesak, sementara waktu untuk pembuatan undang-undang tidak sebentar. Sehingga ia sarankan pemerintah agar mengeluarkan kebijakan untuk memperkuat siber.

Saat ini dunia siber ditangani setidaknya oleh BSSN dan Dittipidsiber (Direktorat Tindak Pidana Siber) Polri. Dasar hukum BSSN adalah Perpres No 53 tahun 2017 jo. No 28 tahun 2021. Ini jelas tidak cukup. BSSN harus diperkuat dengan sebuah undang-undang karena BSSN diharuskan mengkoordinasikan semua fungsi KKS di lembaga-lembaga publik secara nasional. Jangan sampai ada ego sektoral di sini, karena bisa menghambat dan memperlambat semuanya.

"Yang perlu diperhatikan juga adalah soal diplomasi siber yang merupakan jembatan bagi negara kami untuk bekerja sama dengan negara-negara lain, khususnya terkait investigasi dan penindakan terhadap pelaku kejahatan siber dari negara lain. Seperti kasus situs BSSN dan data Polri ini kan klaimnya pelaku berasal dari Brazil. Yurisdiksi harus jelas diperkuat dengan diplomasi siber," ujar dia.

Sebelumnya diketahui, banyak akun-akun pemerintah yang diretas dan kebocoran data yang menimpa warga negara Indonesia. Beberapa di antaranya bocornya data 279 juta penduduk Indonesia bocor, data BPJS, data E-hac, data KPAI, bahkan data pribadi Presiden Jokowi dan Wapres Maruf Amin.

Yang terbaru adalah kebobolannya situs BSSN dan bocornya data anggota Polri. Sebanyak 28 ribu data anggota Polri dibagikan di Raidforum yang mencakup nama, alamat, pangkat, satuan kerja, tanggal lahir, jenis pelanggaran, nomor HP, dan email. Ini semua dilakukan dengan serangan siber.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler