Soal Kasus Mafia Tanah, Begini Pandangan Islam
Kasus tersebut memiliki kaitan dengan persoalan amanah yang semestinya dipegang erat-
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus mafia tanah Nirina Zubir, yang menyangkut pemalsuan sertifikat tanah dan menyeret Asisten Rumah Tangga (ART) ibu dari selebriti Nirina Zubir, ramai diperbincangkan saat ini. Kasus tersebut memiliki kaitan dengan persoalan amanah yang semestinya dipegang erat-erat.
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), KH Mahbub Maafi Ramdhan menyampaikan, pada prisipnya, amanah dalam Islam adalah salah satu tanda seseorang munafik atau tidak. Orang yang diberi amanah menjadi munafik ketika ia melanggar atau mengkhianati amanah tersebut.
Rasulullah SAW telah menjelaskan soal ciri-ciri orang munafik. Beliau bersabda, "Jika berkata selalu berdusta, jika berjanji selalu ingkar. Jika diberikan kepercayaan selalu berkhianat. Dan jika memusuhi melampaui batas." (HR Bukhari).
Karena itu, Kiai Mahbub mengingatkan, amanah harus dijalankan sebagaimana mestinya. Bila amanah itu dilanggar, misalnya dengan mengambil hak orang lain dengan cara yang bathil seperti menipu dan memanipulasi sesuatu yang dalam hal ini adalah surat berharga.
Allah SWT berfirman, "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS Al-Baqarah ayat 188)
Dalam konteks kasus mafia tanah Nirina Zubir, Kiai Mahbub menyampaikan, seorang Muslim dilarang melakukan atau memanipulasi sertifikat tanah yang bukan menjadi haknya, karena tanah itu hak pemilik dan ahli warisnya. "Apakah ART itu bagian dari ahli waris. Dari pemberitaan, dia bukan ahli warisnya. Lalu atas dasar apa dia itu bisa menguasai sesuatu yang bukan miliknya," tuturnya.
Kiai Mahbub juga mengingatkan, masalah yang menimpa keluarga Nirina Zubir ini memang terlihat sepele tapi sebetulnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Sebab, memang sulit menemukan orang yang amanah. Menurutnya, masalah tersebut menjadi pelajaran bagi banyak orang ketika memberikan amanah. Sebaiknya tetap berhati-hati terhadap orang kepercayaan yang diberikan amanah itu, untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan.
"Selama ini kita menganggap bahwa kita harus selalu berhusnudzon (berprasangka baik) karena perbuatan ini bagian dari ibadah. Tapi terkadang terhadap orang dekat pun tidak harus selalu berhusnudzon, dengan tetap berhati-hati meski terhadap orang dekat kita," terangnya.
Kiai Mahbub mengungkapkan, terdapat kaidah fiqih yakni mencegah mafsadat (kerusakan) itu lebih didahulukan ketimbang menarik maslahat (kebaikan). Maka, sikap kehati-hatian dalam memberikan amanah ini diperlukan, apalagi jika yang diamanahkan itu menyangkut sesuatu yang berharga seperti sertifikat tanah.
Untuk menemukan orang yang amanah, lanjut Kiai Mahbub, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama dengan ikhtiar lahiriah, misalnya mencari informasi dari pihak lain mengenai orang yang hendak diberi amanah. Kedua, yang juga penting, adalah ikhtiar batiniah, yaitu sholat istikharah untuk mendapat petunjuk Allah SWT.
Namun, Kiai Mahbub mengatakan, sholat istikharah ini sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang shaleh. Tujuannya agar mendapatkan keputusan yang lebih mendekati objektif. "Kalau kita yang melakukan sholat istikharah, sering kali objektifitasnya kurang, karena biasanya kita sudah memiliki kecenderungan. Jadi cari orang lain yang kita anggap shaleh, untuk mengistikharahi," tuturnya.
Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata, "Rasulullah SAW mengajarkan kepada kami istikharah dalam memutuskan segala hal sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dalam Alquran." (HR Bukhari)