Infeksi Alami dan Vaksinasi Mencapai Kekebalan Populasi
Kekebalan populasi perlahan tercapai dengan infeksi alami dan vaksinasi.
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Puti Almas, Adysha Citra Ramadani
Kekebalan populasi terhadap virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan infeksi penyakit Covid-19 perlahan mulai dicapai dengan vaksinasi dan orang-orang yang bertahan dari infeksi alami. Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh University of Zurich (UZH) kini telah menemukan faktor lain dalam mempengaruhi kekebalan populasi tersebut. Studi menggunakan uji yang dikembangkan secara khusus untuk menganalisis tingkat antibodi terhadap empat virus corona manusia lainnya dalam 825 sampel serum yang diambil sebelum SARS-CoV-2 muncul.
Dari sana, tim peneliti juga memeriksa 389 sampel dari donor yang terinfeksi SARS-CoV-2. Analisis ini digabungkan dengan model berbasis komputer memungkinkan tim untuk secara tepat memprediksi seberapa baik antibodi akan mengikat dan menetralisir virus yang menyerang.
Para peneliti dapat menunjukkan bahwa orang yang tertular SARS-CoV-2 memiliki tingkat antibodi yang lebih rendah terhadap virus corona yang menyebabkan flu biasa dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi. Selain itu, orang dengan tingkat antibodi yang tinggi terhadap virus corona yang tidak berbahaya cenderung tidak dirawat di rumah sakit setelah tertular SARS-CoV-2.
“Studi kami menunjukkan bahwa respons antibodi yang kuat terhadap virus corona manusia meningkatkan tingkat antibodi terhadap SARS-CoV-2. Oleh karena itu, seseorang yang telah memperoleh kekebalan terhadap virus corona yang tidak berbahaya juga lebih terlindungi dari infeksi SARS-CoV-2 yang parah,” ujar Alexandra Trkola, kepala Institute of Medical Virology di UZH, dilansir Eurasia Review, Selasa (23/11).
Jenis respons imun ini disebut sebagai reaktivitas silang, dan ini juga terjadi dengan respons sel T, garis tambahan sistem imun dalam pertahanan melawan infeksi. Orang hanya sepenuhnya terlindungi dari SARS-CoV-2 segera setelah mereka pulih dari infeksi atau telah menerima vaksinasi yang efektif.
Ini terjadi ketika tingkat antibodi terhadap virus masih sangat tinggi. Ketika kadar ini turun dari waktu ke waktu, infeksi tidak lagi dicegah, tetapi memori imunologis dengan cepat mengaktifkan kembali pertahanan tubuh, produksi antibodi serta pertahanan sel T.
“Tentu saja, respons imun yang menargetkan SARS-CoV-2 yang dipasang oleh sel memori jauh lebih efektif daripada respons lintas-reaktif. Tetapi meskipun perlindungannya tidak mutlak, respons imun lintas-reaktif mempersingkat infeksi dan mengurangi keparahannya," jelas Trkola.
Trkola mengatakan, inilah yang juga dicapai melalui vaksinasi Covid-19, di mana menurutnya jauh lebih efisien menuju perlindungan menyeluruh terhadap virus corona. Belum diketahui apakah reaktivitas silang ini juga bekerja dalam arah yang berlawanan, termasuk tentang apakah kekebalan terhadap SARS-CoV-2 dicapai melalui vaksinasi, serta menawarkan perlindungan terhadap virus corona manusia lainnya.
“Jika kekebalan SARS-CoV-2 juga menawarkan beberapa tingkat perlindungan dari infeksi virus corona lain, kami akan menjadi langkah signifikan lebih dekat untuk mencapai perlindungan komprehensif terhadap virus corona lain, termasuk varian baru apa pun,” kata Trkola menambahkan.
Gagasan ini juga didukung oleh fakta bahwa perlindungan reaktif silang tidak hanya didasarkan pada antibodi, tetapi sangat mungkin juga pada sel T.
Kekebalan alami
Individu yang pernah terkena Covid-19 dan mendapatkan vaksin Covid-19 mRNA memiliki antibodi yang lebih tahan lama. Jarak waktu antara sakit Covid-19 dan vaksinasi yang lebih panjang dapat meningkatkan respons antibodi untuk melawan virus Covid-19.
Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi berskala besar dari peneliti Johns Hopkins Medicine. Studi yang melibatkan hampir 2.000 tenaga kesehatan sebagai partisipan ini telah dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association.
Dalam studi ini, seluruh partisipan telah menerima dua dosis vaksin Covid-19 mRNA, baik dari Pfizer/BioNtech maupun Moderna. Peneliti lalu mengukur kadar antibodi para partisipan tiga kali setelah dosis kedua vaksin mRNA diberikan.
Peneliti lalu membandingkan kadar antibodi yang terbentuk pada partisipan yang memiliki riyawat Covid-19 dan yang tidak pernah terkena Covid-19 sebelum vaskinasi. Hasil studi menunjukkan bahwa partisipan yang sudah divaksinasi dan pernah mengalami Covid-19 sebelumnya memiliki kadar antibodi yang lebih tinggi dibandingkan partisipan yang hanya divaksinasi.
Pada 30 hari pertama setelah pemberian dosis kedua vaksin mRNA, partisipan yang pernah terkena Covid-19 memiliki kadar antibodi 14 persen lebih tinggi. Pada bulan ketiga setelah pemberian dosis kedua vaksin mRNA, kadar antibodi mereka menjadi 19 persen lebih tinggi.
"Lalu 56 persen (lebih tinggi) pada bulan keenam," ungkap ketua tim peneliti Diana Zhong MD, seperti dilansir Eurasia Review.
Tim peneliti juga memantau pengaruh jarak waktu antara saat terkena Covid-19 dan jadwal vaksinasi terhadap kadar antibodi yang terbentuk. Hasil studi menunjukkan bahwa interval yang lebih panjang antara waktu sakit dengan jadwal pemberian dosis pertama vaksin dapat meningkatkan respons antibodi.
Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi peningkatan ketahanan antibodi pascavaksinasi pada orang yang sebelumnya pernah mengalami Covid-19. Faktor tersebut bisa saja berupa jumlah paparan virus, interval antara paparan, atau interaksi antara kekebalan alami serta kekebalan dari vaksin.