Buruh Depok Demo Tuntut Kenaikan UMK 10 Persen

Ratusan buruh menggelar aksi demo di depan Balai Kota Depok.

Republika/Febryan. A
Demo buruh (ilustrasi)
Rep: Rusdy Nurdiansyah Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Ratusan buruh di Kota Depok melakukan aksi demo di depan Balai Kota Depok, Rabu (24/11). Para buruh yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pekerja dan Serikat Buruh (Aliansi SPSB) menuntut agar upah minimum kota (UMK) Kota Depok naik 10 persen.

Baca Juga


"Kami menuntut kenaikan UMK Kota Depok sebesar 10 persen. Kami butuh upah yang layak dan manusiawi," kata koordinator aksi demo, Rudi Gunawan dalam orasinya saat menggelar demo di depan Kantor Wali Kota Depok, Rabu (24/11).

UMK Kota Depok 2021 sebesar Rp 4,3 juta. Buruh Kota Depok meminta UMK 2022 naik 10 persen atau sekitar Rp 400 ribu. "Jadi tuntutannya UMK Kota Depok 2022 sebesar Rp 4,7 juta," tegas Rudi.

Menurut Rudi, dalam menetapkan upah, pemerintah menggunakan PP Nomor 36 yang dianggap merugikan buruh. Padahal tuntutan buruh di atas yang telah ditentukan dalam PP tersebut.

"Pemerintah sekarang menganjurkan kenaikan upah ini menggunakan PP Nomor 36 dimana PP itu sangat merugikan kepentingan buruh. Jadi kita meminta untuk kenaikan di atas itu," jelasnya.

Lanjut Rudi, jika berdasarkan PP tersebut, kenaikan upah hanya sekitar satu persen. "Kenaikan tersebut sangat tidak layak. Jadi sangat tidak layak bagi kaum buruh yang dua tahun ini karena pandemi Covid-19 sudah cukup banyak dirumahkan, pemotongan gaji. Makanya kami berharap kenaikan bisa 10 persen," jelasnya.

Para buruh yang melakukan aksi demo berharap agar aspirasinya dapat didengar. "Jika mentok, mereka berharap agar ada solusi dari Pemerintah Kota (Pemkot) Depok. Harapan kalau memang pak gubernur menggunakan PP 36, tapi Pak Wali bisa memberikan solusi lain untuk meringankan beban buruh. Misalnya ada kebijakan jaminan sosial yang diberikan pada kaum buruh," harapnya.

Sementara itu, Ketua FSPMI Kota Depok, Wido Pratikno mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan lima poin tuntutan. Pertama, mereka menuntut pemerintah mencabut UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipa Kerja. Alasannya, UU Cipta Kerja dinilai lahir secara prematur karena tidak memiliki naskah akademik.

"Kami sedang menggugat UU Cipta Kerja ke MK. Harusnya para pengadil di MK juga melihat kondisi kami yang darurat karena UU Cipta Kerja," tegasnya. 

Ia menambahkan, tuntutan kedua FSPMI Kota Depok terkait dengan upah yang menuntut kenaikan 10 persen. "Boleh dicek hari ini, bagaimana kenaikan sembako yang luar biasa. Dari harga minyak, telor dan sembako lainnya sudah naik lebih dari 10 persen. Jadi, layaknya kenaikan upah juga 10 persen," ucap Wido.

Selain menuntut kenaikan upah sebesar 10 persen, FSPMI juga menuntut diberlakukannya Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). "Kami ini ada sektor-sektor. Sektor elektronik, sektor otomotif, sektor pariwisata. Maka dari itu, upah minimum sektor itu wajib hukumnya untuk diundangkan dan disahkan," ungkap Wido.

Lanjut Wido, tuntutan keempat FSPMI adalah meminta pemerintah mencabut Surat Edaran Menteri yang melarang bupati/walikota untuk merekomendasikan kenaikan upah minimum. Lalu, tuntutan kelima, meminta pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tanpa UU Cipta Kerja.

"PKB yang ada di perusahaan selama ini, sudah lebih baik dibanding yang diatur di UU. Tapi sekarang ini gara-gara UU Cipta Kerja, banyak perusahaan meminta revisi. Kami juga meminta dukungan dari Pemkot Depok terkait kenaikan upah. Selama ini, Pemkot Depok membantu dengan menyampaikan rekomendasi ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar. Dia berharap, tahun ini pun demikian. Bila tidak ada kenaikan, kami akan ajak buruh aksi demo ke Pemprov Jabar," jelas. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
 
Berita Terpopuler