Suhu Samudra Arktik Sudah Naik 3 Derajat, Ini Pemicunya
Suhu Samudra Arktik naik 3 derajat dibanding pra industri.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Samudra Arktik telah mengangat karena bercampur dengan Samudra Atlantik sejak awal abad ke-20. Samudra Arktik memanas beberapa dekade lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.
Samudra Arktik mulai memanas dengan cepat pada awal abad terakhir melalui proses yang disebut Atlantifikasi. Ini adalah suatu proses ketika air yang lebih hangat dan asin mengalir dari Atlantik.
Proses mengubah Samudra Arktik menjadi keadaan yang menyerupai Atlantik adalah salah satu pendorong utama pemanasan di kawasan itu. Berdasarkan catatan satelit, peristiwa ini terjadi sekitar 40 tahun yang lalu.
Dalam studi baru, yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances pada Rabu (24/11), sekelompok ilmuwan internasional merekonstruksi sejarah pemanasan laut baru-baru ini di pintu gerbang ke Samudra Arktik di wilayah yang disebut Selat Fram, antara Greenland dan Svalbard. Mereka merekonstruksi perubahan sifat lajur air, seperti suhu dan salinitas selama 800 tahun terakhir.
Para ilmuwan mencari tanda-tanda Atlantifikasi- dengan menganalisis data geokimia dan ekologi dari sedimen laut dan mikroorganisme laut.
“Ketika kami melihat seluruh skala waktu 800 tahun, catatan suhu dan salinitas kami terlihat cukup konstan,” kata Tesi Tommaso, penulis utama studi dari Institute of Polar Sciences dari National Research Council di Bologna, Italia, dilansir dari Independent, Senin (29/11).
“Tetapi tiba-tiba pada awal abad ke-20, Anda mendapatkan perubahan suhu dan salinitas yang mencolok-ini benar-benar menonjol,” kata Dr Tommaso.
Saat lautan dunia memanas karena perubahan iklim, mereka mengatakan Samudra Arktik-yang terkecil dan paling dangkal- memanas dengan kecepatan tercepat. Studi terbaru menunjukkan Arktik memanas tiga kali lebih cepat daripada planet secara keseluruhan.
Kenaikan suhu di wilayah tersebut sebanyak tiga derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Hal ini menyebabkan es di kawasan kutub mencair, yang pada gilirannya menaikkan permukaan laut global dan menenggelamkan bagian dunia yang lebih rendah.
Proses ini menciptakan lingkaran umpan balik. Saat lebih banyak es yang mencair di kutub artinya memaparkan lebih banyak permukaan laut ke matahari, melepaskan panas, menaikkan suhu udara, menyebabkan lebih banyak pencairan dan seterusnya.
Ekspedisi ilmiah baru-baru ini juga menemukan perubahan ini secara radikal dapat mengubah ekologi laut Samudra Arktik. Dampaknya, ini memungkinkan lebih banyak ikan dan mikroba di Atlantik untuk berkoloni dan beradaptasi dengan laut utara.
Saat Arktik terus menghangat, akan mencairkan lanskap permafrost yang semi-dekomposisi di belahan bumi utara, termasuk bagian Siberia, yang menyimpan sejumlah besar metana.
Pelepasan gas rumah kaca yang mudah terbakar ini, yang memiliki kekuatan pemanasan 80 kali lebih besar daripada karbon dioksida. Dampaknya bisa menyebabkan kenaikan suhu yang tidak normal di wilayah tersebut, juga memicu kebakaran hutan.
“Tingkat pemanasan di Arktik lebih dari dua kali lipat rata-rata global, karena mekanisme umpan balik,” kata rekan penulis studi Francesco Muschitiello dari Departemen Geografi Universitas Cambridge.
“Berdasarkan pengukuran satelit, kami tahu bahwa Samudra Arktik terus memanas, khususnya selama 20 tahun terakhir, tetapi kami ingin menempatkan pemanasan baru-baru ini dalam konteks yang lebih panjang,” kata Dr Muschitiello.
Para ilmuwan mengatakan hubungan antara dua lautan mampu membentuk variabilitas iklim Arktik. Selain itu, dapat memiliki implikasi penting untuk mundurnya es laut dan kenaikan permukaan laut global karena lapisan es kutub terus mencair.
Berdasarkan analisis para ilmuwan, pemanasan Arktik ini memiliki korelasi kuat dengan perlambatan proses sirkulasi alami di Laut Labrador -di mana suhu udara dingin dan salinitas di permukaan membuat air lebih padat dan menyebabkannya tenggelam ke bawah.
“Dalam skenario pemanasan di masa depan, sirkulasi dalam di wilayah sub-kutub ini diperkirakan akan semakin berkurang karena pencarian lapisan es Greenland. Hasil kami menyiratkan bahwa kami mungkin mengharapkan Atlantifikasi Arktik lebih lanjut di masa depan karena perubahan iklim,” Dr Muschitiello memperingatkan.
Para ilmuwan juga menyerukan perbaikan model iklim yang menggabungkan temuan ini untuk memprediksi dampak perubahan iklim di masa depan dengan lebih baik.
“Simulasi iklim umumnya tidak mereproduksi pemanasan semacam ini di Samudra Arktik, yang berarti ada pemahaman yang tidak lengkap tentang mekanisme yang mendorong Atlantifikasi,” jelas Dr Tommaso.
“Kami mengandalkan simulasi ini untuk memproyeksikan perubahan iklim di masa depan, tetapi kurangnya tanda-tanda pemanasan awal di Samudra Arktik adalah bagian dari teka-teki yang hilang,” tambahnya.