Pernah Kena Covid-19, Orang Lebih Rentan Terhadap Omicron
Dibandingkan varian lainnya, Omicron lebih mungkin bikin reinfeksi Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Varian Covid-19 Omicorn (B.1.1.529) telah menjadi perhatian baru skala internasional. Kini, ada "bukti awal" terkait peningkatan risiko infeksi ulang dari varian yang disebut mengkhawatirkan tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, orang yang sebelumnya pernah memiliki riwayat positif Covid-19 dapat lebih mudah terinfeksi ulang oleh Omicron dibandingkan varian lainnya. Meski begitu, data yang tersedia mengenai hal ini masih sangat terbatas.
"Vaksin penting untuk mencegah orang sakit parah dan kematian akibat Covid-19, terlebih terkait varian delta yang mendominasi saat ini," kata WHO.
Menanggapi ancaman baru, Pemerintah Inggris telah memperkenalkan tindakan pembatasan. Pertama, pengunjung sekolah menengah harus memakai masker di area umum halaman sekolah, seperti koridor, mulai Senin (29/11). Lalu, masker wajah akan diwajibkan di transportasi umum dan toko-toko mulai Selasa (30/11).
Mereka yang menolak untuk mengikuti aturan pencegahan Covid-19 di toko-toko dan di transportasi umum dapat menghadapi denda hingga 6.000 poundsterling (Rp 114,5 juta). Ada delapan kasus omicron yang dikonfirmasi di Inggris sampai saat ini.
Kasus diperkirakan akan tumbuh secara eksponensial. Dalam acara di Good Morning Britain ITV, Profesor Amitava Banerjee, seorang konsultan ahli jantung, mengatakan perlunya mencoba mengurangi penyebaran dan tingkat infeksi. Ia menyerukan pentingnya masker wajah untuk dipakai di ruang tertutup.
Sebelumnya, WHO telah menegaskan bahwa virus memiliki penularan "tinggi". Para peneliti masih perlu mengungkap seberapa virulen omicron atau seberapa buruk penyakit itu dapat membahayakan orang.
Masih perlu waktu untuk mengetahui apakah vaksin yang ada dapat melindungi terhadap omicron seperti halnya untuk varian lain.
"Belum jelas apakah infeksi omicron menyebabkan penyakit yang lebih parah dibandingkan dengan infeksi dengan varian lain, termasuk delta," demikian pernyataan WHO, dilansir Express.co.uk, Senin (29/11).
Data awal menunjukkan bahwa ada peningkatan tingkat rawat inap di Afrika Selatan. Tetapi ini mungkin karena meningkatnya jumlah keseluruhan orang yang terinfeksi, bukan akibat infeksi spesifik dengan omicron.
Tingginya kasus Covid-19 di Afrika Selatan juga terkait dengan belum tingginya cakupan vaksinasi. Saat ini, tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa gejala yang terkait dengan omicron berbeda dari varian lain.
Gejala penyakit
Orang yang terinfeksi dengan virus corona tipe baru (SARS-CoV-2) varian omicron menunjukkan gejala yang ringan. Seorang pasien anak di Afrika Selatan memperlihatkan gejala yang sama dengan infeksi virus lainnya.
"Mirip seperti infeksi virus lainnya, jadi tidak mudah membedakan apakah ini akibat Covid-19 atau penyakit lainnya," ungkap dokter spesialis anak dr Anggraini Alam dari dari Ikatan Dokter Anak Indonesia dalam konferensi pers daring, Senin (29/11).
Menurut Anggraini, varian omicron menimbulkan gejala ringan seperti kelelahan. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah anak terkena varian omicron atau justru penyakit lainnya.
"Tes itu sangat penting untuk menegakkan bahwa ini adalah Covid atau bukan," katanya, merujuk kepada tes antigen atau PCR.
Untuk mengetahui varian virus yang menginfeksi, menurut Anggraini, perlu tes lebih mendalam. Sampel virus harus dikirim ke laboratorium pusat.
WHO telah menyatakan bahwa varian omicron dapat dideteksi menggunakan tes PCR seperti halnya varian SARS-CoV-2 lain. WHO juga terus meneliti apakah omicron dapat terdeteksi dengan jenis tes Covid-19 lain.
"Tes PCR yang banyak digunakan terus mendeteksi infeksi, termasuk infeksi omicron, seperti yang telah kita lihat dengan varian lain," kata WHO dalam keterangan resminya dilansir Hindustan Times pada Senin (29/11).
WHO ingin memastikan efektivitas tes lain terhadap omicron, seperti antigen. Sebab, bila Omicron tak bisa dideteksi dengan antigen maka penggunaan PCR akan menjadi wajib.
"Studi sedang berlangsung untuk menentukan apakah ada dampak pada jenis tes lain, termasuk tes deteksi antigen cepat," ujar WHO.