Cerita Joko Buta Sementara, KIPI Vaksin, dan Survei Mafindo

Kondisi Joko kini membaik setelah sempat alami gangguan penglihatan usai divaksin.

Republika/Wilda Fizriyani
Joko Santoso (kiri), warga Kota Malang menceritakan pengalaman kebutaannya setelah mendapatkan vaksin AstraZeneca, Kamis (2/12). Kondisi Joko kini berangsur membaik.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wilda Fizriyani, Antara

Dunia mendadak gelap gulita. Itulah yang dirasakan Joko Santoso saat dia pertama kali membuka matanya pada 4 September lalu. Pria berusia 38 tahun ini bercerita, dirinya tidak bisa melihat apa pun sehari setelah dia mendapatkan suntikan vaksin AstraZeneca dosis pertama.

"Saya nurut, vaksin di rumahnya Pak RW itu tanggal 3 September," kata Joko saat ditemui wartawan di wilayah Arjowinangun, Kedungkandang, Kota Malang, Kamis (2/12).

Baca Juga



Tiba di tempat vaksin pada 3 September, Joko langsung melakukan skrining dan kondisi fisiknya dianggap normal. Proses vaksinasi berjalan lancar sampai akhirnya dia kembali ke rumah. Di kediamannya, Joko mulai merasa mual dan muntah sebanyak dua kali.

Merasa tidak sehat, Joko langsung menghubungi istrinya yang sedang bekerja. Dia pun diminta untuk mengonsumsi vitamin C lalu dia pun tertidur. Kemudian sekitar pukul 22.00 WIB, Joko merasakan matanya mulai kabur saat sedang memainkan ponsel.

Awalnya, Joko mengira kekaburan pada matanya akibat rasa kantuk. Dia pun tertidur lalu terbangun pada keesokan harinya.

"Sabtu paginya gelap gulita itu. Laporan ke Pak RW dibawa ke RS Refa Husada, dari Refa Husada dirujuk ke RSU sampai sekarang," jelasnya.

Kebutaan yang dialami kedua matanya berlangsung sekitar tiga hari. Setelah itu, tubuhnya lemas seperti terkena penyakit stroke. Dia tidak mampu menggerakkan tubuhnya selain tangan dan kepala.

Akibat kebutaannya tersebut, Joko pun terpaksa meninggalkan pekerjaannya. Saat itu, dia sedang bekerja sebagai kuli di wilayah Karangploso, Kabupaten Malang.

"Kerjanya ditinggal sampai sekarang," ungkapnya.

Untuk saat ini, Joko mengaku, penglihatan matanya sudah berangsur baik hingga 75 persen. Setidaknya dia sudah bisa melihat meskipun hanya warna hitam putih. Hal terpenting, dia sudah bisa jalan sendiri dan mengasuh anaknya.

Meskipun sudah membaik, Joko belum diperkenankan bekerja oleh dokter. Dokter yang membantunya telah memberikan nasihat agar dia selalu berdoa kepada Allah SWT.

"Harapan sembuh katanya suruh berdoa, kesembuhan cuma ada di tangan Allah, (dokter) membantu semaksimal mungkin. Mohon donya biar kembali normal," kata dia.

Belum lama ini, pengalaman Joko setelah mendapatkan vaksin AstraZeneca diunggah oleh istrinya, Titik Andayani melaui media sosial. Titik awalnya berniat untuk tidak menceritakan ini pada publik. Sudah banyak tetangga dan saudara yang membantunya selama ini. Namun, lama-kelamaan dia merasa sungkan dan tidak enak hati atas bantuan tersebut.

Menurut Titik, para tetangga, saudara, RT, RW dan lurah sudah sangat baik untuk membantunya. Namun dia merasa jengkel dengan sikap dari Pemerintah Kota (Pemkot) Malang.

"Pemerintah itu kok tidak ada bantuan yang turun-turun lagi. Awal ada dari Basnaz, itu membantu. Tagana juga membantu. Itu di awal September. Terus ini bagaimana? Saya jengkel, akhirnya saya tulis saja (di medsos)," ucap Titik.

Titik sudah mengajukan permintaan kepada lurah dan camat agar suaminya diberikan pekerjaan yang sesuai. Pengajuan ini masih dalam pembahasan tapi rencananya akan diberikan gerobak untuk berjualan. Titik tidak mempermasalahkan bantuan ini asalkan keluarganya memiliki pengharapan untuk mendapatkan penghasilan.

In Picture: Vaksin Booster untuk Relawan Yogyakarta

Relawan mengikuti vaksinasi massal Covid-19 dosis tiga di Graha Wana Bhakti Yasa, Yogyakarta, Selasa (30/11). Vaksinasi Covid-19 dosis tiga atau vaksin booster untuk relawan ini menggunakan vaksin moderna. - (Wihdan Hidayat / Republika)

Lurah Arjowinangun, Andi Hamzah menyatakan, dirinya langsung menindaklanjuti laporan yang dialami Joko pada September lalu. "Berupa koordinasi dulu karena kejadian itu pada hari libur, Sabtu dan Minggu sehingga kami bertindak secara administrasi itu Senin," katanya.

Pada akhirnya, kelurahan berusaha agar Joko tidak mengeluarkan biaya apa pun saat menjalani perawatan di RS. Untuk bisa melakukan tersebut, Andi berkoordinasi dengan Puskemas dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Malang.

Dengan surat pengantar RT/RW, pihaknya berhasil mengusulkan agar Joko menjadi peserta BPJS Kesehatan. Melalui bantuan tersebut, Joko pun tidak perlu mengeluarkan biaya kesehatan.

"Itu secara administrasi. Kemudian secara koordinasi, kami langsung berkoordinasi dengan camat, Dinsos, Baznas, Dinas Kesehatan terkait langkah apa. Dinkes itu terkait langkah medis," kata Andi.

Kemudian dengan Dinsos, kelurahan berusaha agar Joko dan keluarga bisa mendapatkan bantuan kebutuhan pokok. Dengan berbagai upaya, Andi mengklaim, keluarga Joko pada akhirnya bisa mendapatkan bantuan sembako hingga sekarang.

Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Malang, Husnul Muarif mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan yang dialami Joko. Dinkes juga sudah memfasilitasi bantuan pemeriksaan kesehatan untuk yang bersangkutan.

"Kalau penyebabnya masih dalam pemeriksaan ahli," kata dia menambahkan.

 

Survei yang dilakukan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) baru-baru ini mengungkapkan, sebagian besar masyarakat di daerah yang tidak mau mengikuti vaksinasi lantaran takut mengalami efek samping atau KIPI.

"Satu hal menarik yang kita lakukan survei, kenapa Anda belum divaksin, karena takut efek samping. Ini menjadi salah satu faktor terbesar yang mencegah masyarakat dari divaksinasi karena itu," kata Founder dan Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Harry Sufehmi dalam diskusi daring mengenai vaksinasi yang dipantau di Jakarta, Selasa (30/11).

Selain itu, survei tersebut juga menunjukkan alasan orang belum divaksinasi karena kesulitan mencari lokasi vaksinasi, khususnya bagi masyarakat yang berada di daerah. Harry mengatakan, bahwa pihaknya berusaha melakukan penjelasan mengenai berbagai hal seputar KIPI kepada masyarakat agar mau divaksinasi.

"Bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan, tinggal mengikuti instruksi petugas, misalnya sudah sarapan atau belum, sudah istirahat cukup atau belum, apakah sedang haid atau tidak sehingga resiko KIPI bisa diminimalisir," katanya.

Ketua Komnas KIPI Hinky Hindra Irawan Satari pada Selasa (30/11), menegaskan, kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) akibat vaksin Covid-19 paling banyak yang memiliki efek nonserius. Kesemuanya bisa sembuh dengan sendirinya tanpa perlu dirawat.

"Data KIPI Covid-19 di Indonesia sejauh ini aman dari KIPI nonserius, tidak dirawat sembuh sendiri dengan atau tanpa pengobatan," katanya dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Selasa.

Ia menyebutkan, KIPI paling banyak nonserius seperti mual muntah, mengantuk, nyeri di tempat suntikan, sakit kepala, lemas, dan lain-lain. Laporan KIPI paling banyak berasal dari vaksin Sinovac dikarenakan vaksin jenis tersebut yang dominan digunakan oleh Indonesia yakni 150 juta dosis lebih.

Sementara untuk jenis KIPI yang dilaporkan dari vaksin Sinovac, Astrazeneca, Pfizer, Moderna, Sinopharm juga memiliki kesamaan yaitu mual muntah, sakit kepala, lemas, nyeri pada suntikan, dan sebagainya. "Untuk Pfizer sama mual muntah, pusing, lemas, sakit kepala. Karena memang vaksin itu disuntikan nyeri di tempat suntikan. Demam, mual karena ada benda asing masuk ke seseorang tubuh bereaksi gejalanya hampir serupa," katanya.

 

Prosedur Pengaduan Efek Vaksinasi atau KIPI - (republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler