Penyintas Covid-19 Berisiko Alami Reumatik Autoimun?
Dokter pelajari kemunculan reumatik autoimun yang mengusik penyintas Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini, belum ada data yang mencukupi untuk memastikan kemungkinan reumatik autoimun akan mengusik penyintas Covid-19. Menurut Dr dr Rudy Hidayat SpPD-KR para ahli kesehatan masih melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan itu.
Penyakit reumatik autoimun diketahui merupakan hasil interaksi adanya faktor genetik yang memudahkan munculnya kondisi autoimun ditambah dengan faktor lingkungan. Rudy menyebut, faktor lingkungan yang banyak diteliti salah satunya adalah infeksi virus.
"Tetapi, untuk infeksi Covid-19 tentu belum cukup data untuk memastikan hal tersebut," kata dokter spesialis penyakit dalam kosultan reumatologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu, dalam keterangannya, dikutip Sabtu.
Rudy menjelaskan, beberapa jurnal memang melaporkan adanya pasien-pasien yang didiagnosis arthritis rheumatoid (RA) pascainfeksi Covid-19. Namun, hasil penelitian belum diungkapkan secara luas.
Bagaimana dengan kondisi yang terjadi pada pasien reumatik, terutama reumatik-autoimun pasca infeksi Covid-19? Merujuk berbagai laporan, Rudy mengatakan bahwa infeksi Covid-19 lebih besar dampaknya pada pasien dengan autoimun, apalagi dengan terapi imunosupresan atau obat yang menekan sistem imun.
Di samping itu, infeksi juga dapat menjadi pemicu aktivitas penyakit autoimun. Hal ini menjadi dasar mengapa pasien autoimun dianjurkan untuk segera melakukan vaksinasi Covid-19, terutama pada kondisi autoimun yang terkendali, karena keuntungannya yang lebih besar dibandingkan risikonya.
"Sedangkan untuk kondisi pascainfeksi, tampaknya tidak terdapat perbedaan yang signifikan yang berkaitan dengan kondisi autoimun yang diderita, kecuali adanya post-covid syndrome yang dapat memperberat kondisi autoimun," tutur Rudy.
Menurut Rudy, hal tersebut perlu dievaluasi dengan baik dan teliti oleh dokter yang menangani untuk membedakan mana yang merupakan manifestasi dari reumatik-autoimun atau merupakan manifestasi post-covid syndrome. Bisa jadi, kondisi itu justru merupakan kombinasi dari keduanya.
Rudy menyarankan masyarakat untuk tak ragu berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi jika mengalami gejala post-covid syndrome yang menuju kepada gejala reumatik ataupun penyakit reumatik autoimun. Ia mengingatkan, penanganan dini pada gejala dapat membantu mempercepat pemulihan.
Penyakit reumatik terjadi saat ada gangguan yang melibatkan sistem organ muskuloskeletal, yakni sendi, otot, tulang, dan struktur jaringan ikat), dan autoimun. Sementara Covid-19 disebabkan infeksi virus severe acute respiratory syndrome 2 (SARS-CoV-2) yang menimbulkan kelainan atau gangguan pada sistem organ pernapasan dan berbagai sistem organ lainnya.
Para pakar kesehatan masih membahas kaitan penyakit reumatik. terutama kelompok reumatik-autoimun atau penyakit reumatik yang disebabkan autoimun, dengan kondisi pascainfeksi Covid-19. Berbagai laporan dari seluruh pelosok dunia tentang kondisi individu pasca infeksi Covid-19 menunjukkan, lebih dari 50 persen pasien masih memiliki beberapa gejala gangguan muskuloskeletal yang menetap dalam jangka waktu yang cukup lama hingga enam hingga sembilan bulan setelah infeksi.
Kondisi yang dikenal dengan post-Covid syndrome atau long-Covid condition ini sangat mungkin juga disertai gangguan pada sistem organ yang lain, terutama paru dan jantung. Beberapa gejala gangguan muskuloskeletal yang dilaporkan antara lain kelemahan lengan atau tungkai, nyeri otot, nyeri sendi, kekakuan, bengkak dan kesemutan, juga keluhan kelelahan.
Pasien-pasien dengan keluhan-keluhan yang menetap ini bukan hanya pasien yang sebelumnya dengan infeksi Covid-19 sedang atau berat, tetapi juga pasien dengan infeksi yang ringan. Rudy menyebut, terapi pada kondisi post Covid-19 nantinya lebih bersifat simtomatik dan rehabilitatif, baik dengan obat-obatan maupun dengan modalitas terapi fisik atau latihan fisik.
"Para dokter ditantang untuk dapat mengenali kondisi ini dan membedakan dengan kondisi kronis lain, termasuk reumatik autoimun yang memerlukan terapi jangka panjang," kata Rudy.