Hukum Kontrak dalam Muamalah Islam

Kontrak di dalam Islam disebut dengan 'akad' yang berasal dari bahasa Arab 'al-Aqd'

.
Rep: AHMAD TAUFIQURRAHMAN B 2021 Red: Retizen

Kata muamalah berasal dari bahasa Arab yang berarti menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain satu atau lebih dalam kebutuhan masing-masing. Adapun yang disebut dengan fiqh muamalah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan keduniaan, seperti dalam persoalan jual beli, utang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, dan sewa menyewa. Didalam hubungan muamalah ada yang namanya kontrak, yakni kegiatan muamalah yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik bersifat tabarru’ (saling tolong menolong tanpa mengharap balasan kecuali dari Allah SWT), maupun bersifat tijarah (transaksi dengan tujuan mencari keuntungan). Kontrak dalam kegiatan muamalah biasa dikenal dengan istilah yang berbeda-beda seperti akad, perjanjian, perikatan, dan transaksi. Semua istilah tersebut mempunyai arti yang sama yakni perikatan yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya.


Kontrak didalam islam disebut dengan “akad” yang berasal dari bahasa Arab “al-Aqd” yang berarti perikatan, perjanjian, kontrak atau permufakatan, dan transaksi. Menurut Dictionary of Business Term “aqd or contract is transaction involing two or more individuals whereby each becomes obligated to the other, with reciprocal rights to demand performence of what is promised” (akad adalah sebuah persetujuan yang mengikat secara hukum antara dua pihak atau lebih yang sama, untuk pertimbangan, satu atau lebih setuju untuk melakukan sesuatu). Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Ibnu Abidin yang dimaksud dengan kontrak adalah pertalian antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya. Yang dimaksud dengan kehendak syariat bahwa seluruh kontrak yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syariat islam seperti melakukan kontrak untuk melaksanakan transaksi riba, menipu orang lain atau melakukan perampokan. Adapun kalimat yang berpengaruh pada objek perikatan dimaksudkan adalah terjadinya perpindahan kepemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan kabul). Ijab dan kabul dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keinginan dan kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi kontrak. Oleh karena itu, ijab dan kabul ini menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak yang melakukan kontrak.

Hukum islam membedakan antara “janji” dengan “perjanjian” atau “kontrak”. Istilah janji terkadang memiliki maksud yang sama dengan istilah perjanjian atau kontrak yang pada hakikatnya memiliki perbedaan makna. Dalam kontrak terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak yang lainnya yang menimbulkan akibat hukum pada objek perjanjian, serta hak dan kewajiban atas masing-masing pihak. Adapun janji adalah keinginan yang dikemukakan oleh seseorang untuk melakukan sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan, dalam rangka memberi keuntungan bagi pihak lain. Perbedaan lainnya ialah terletak pada konsekuensi hukum dari keduanya, yakni pada kontak bersifat mengikat (mulzim) para pelakunya, wajib dilaksanakan, baik dari segi hukum maupun dari sudut pandang agama ketika semua persyaratan perjanjian/kontrak itu terpenuhi. Sementara janji hanya mengikat para pihak yang menyatakannya saja atau yang berjanji saja, sedangkan dari segi hukum hanya hakim yang dapat memaksakan orang yang berjanji untuk melaksanakan janjinya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam kontrak menurut hukum islam yaitu adanya pertalian ijab kabul yang dilakukan oleh pihak yang akan melakukan kontrak. Ijab dilakukan oleh pihak yang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, sedangkan kabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak yang telah dilakukan pihak pertama. Selanjutnya, kontrak yang dilakukan itu harus dibenarkan oleh syariat islam dan tidak boleh dilakukan kontrak terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Di samping itu, setiap kontrak yang dilakukan itu harus mempunyai akibat hukum terhadap objeknya dan harus memberikan konsekuensi hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.

sumber : https://retizen.id/posts/18379/hukum-kontrak-dalam-muamalah-islam
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler