Menyibak Asal Usul Corona: Ilmuwan Fokus ke Hewan, Alih-Alih Lab
Asal usul virus corona masih misterius, namun ilmuwan sebagian yakin itu dari hewan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmuwan di seluruh dunia hingga saat ini masih berfokus untuk menyelidiki asal usul virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan penyakit Covid-19 sebagai zoonosis. Mereka berpegang pada teori bahwa hewan menjadi sumber dari virus dan menularkannya pada manusia.
Banyak ilmuwan yang percaya SARS-CoV-2 muncul pertama kali di alam liar kemudian melompat dari kelelawar kepada manusia, baik secara langsung atau ada perantara hewan lainnya sebelum manusia. Saat ini, sudah dua tahun sejak kasus Covid-19 pertama kali dikonfirmasi di dunia, tepatnya pada Desember 2019 di China.
Tidak sedikit yang meyakini teori selain zoonosis sebagai asal mula SARS-CoV-2. Ada yang mengatakan bahwa kemungkinan virus itu dibuat di laboratorium kemudian bocor atau terlepas ke luar lalu menyebar pesat ke seluruh dunia hingga menjadi pandemi hingga saat ini.
"Skenario kebocoran laboratorium mendapat banyak perhatian, tetapi tidak ada bukti bahwa virus ini ada di laboratorium," ujar ilmuwan asal University of Utah, Amerika Serikat (AS), Stephen Goldstein.
Bersama 20 orang lainnya, Goldstein menulis sebuah artikel dalam jurnal Cell pada Agustus yang berisi pemaparan bukti asal hewan sebagai sumber SARS-CoV-2. Sejalan dengan itu, Michael Worobey selaku ahli biologi evolusioner di University of Arizona yang berkontribusi pada artikel tersebut mengaku selalu berpikir bahwa penularan zoonosis lebih mungkin terjadi daripada kebocoran laboratorium.
Worobey mengatakan kedua teori itu sebenarnya tetap layak. Namun, penelitiannya sendiri dan penelitian orang lain telah membuatnya lebih percaya tentang hipotesis sumber virus berasal dari hewan, yang jauh lebih didukung oleh data-data yang tersedia.
Bulan lalu, Worobey menerbitkan garis waktu (timeline) yang menghubungkan kasus manusia pertama yang diketahui ke Pasar Grosir Makanan Laut Huanan di Wuhan, China, tempat hewan hidup dijual. Ia menyebut bahwa teori kebocoran lab hampir pasti merupakan gangguan besar yang mengalihkan fokus dari apa yang sebenarnya terjadi.
Di sisi lain, tidak sedikit yang meragukan zoonosis sebagai teori asal usul SARS-CoV-2. Bahkan, ada empat badan intelijen AS yang diperintahkan melakukan penyelidikan percaya dengan keyakinan rendah bahwa virus itu awalnya ditularkan dari hewan ke manusia.
Satu lembaga memegang keyakinan sedang bahwa infeksi pertama terkait dengan laboratorium. Beberapa pendukung hipotesis kebocoran laboratorium telah berteori bahwa peneliti secara tidak sengaja terpapar karena praktik keselamatan yang tidak memadai saat bekerja dengan sampel dari alam liar atau mungkin setelah membuat SARS-CoV-2 di laboratorium.
Para ilmuwan mengatakan dalam makalah Cell bahwa SARS-CoV-2, adalah virus corona kesembilan yang didokumentasikan menginfeksi manusia. Seluruh virus corona sebelumnya diketahui berasal dari hewan, termasuk virus yang menyebabkan epidemi sindrom pernapasan akut parah (SARS) pada 2003, yang juga telah dikaitkan dengan pasar yang menjual hewan hidup di China.
Banyak peneliti percaya hewan liar adalah inang perantara untuk SARS-CoV-2, yang berarti mereka terinfeksi virus corona kelelawar yang kemudian berevolusi. Para ilmuwan telah mencari virus corona kelelawar yang terlibat, dan mengidentifikasi tiga virus pada kelelawar di Laos yang mirip dengan virus corona jenis baru pada September.
Worobey menduga anjing rakun adalah inang perantara. Ia mengatakan bahwa mamalia mirip rubah yang dijual di pasar Huanan rentan terhadap virus corona.
Awal tahun ini, sebuah laporan bersama oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan China menyebut penularan virus dari kelelawar ke manusia melalui hewan lain sebagai skenario yang paling mungkin. Mereka menyebut, kebocoran laboratorium sangat tidak mungkin.
Tetapi laporan itu juga menebar keraguan dengan mengelompokkan kasus Covid-19 pertama yang diketahui terjadi pada seorang yang berprofesi sebagai akuntan dan tidak memiliki koneksi ke pasar Huanan. Ia pertama kali menunjukkan gejala pada 8 Desember 2019.
Worobey mengatakan, para pendukung teori kebocoran laboratorium menunjuk pada kasus itu. Mereka mengklaim, virus itu lolos dari fasilitas Institut Virologi Wuhan di dekat tempat tinggal akuntan tersebut.
Hanya saja, menurut penelitian yang dilakukan, pria itu mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa penyakitnya pada 8 Desember sebenarnya adalah masalah gigi. Gejala Covid-19 baru dialami olehnya pada 16 Desember.
Analisis Worobey mengidentifikasi kasus sebelumnya, salah satu pedagang di pasar Huanan yang terjangkit Covid-19 pada 11 Desember. Para ahli khawatir bahwa penularan virus dari hewan ke manusia yang sama dapat memicu pandemi baru dan memperburuk situasi saat ini.
Sejak Covid-19 muncul, banyak jenis hewan telah terinfeksi, termasuk kucing peliharaan, anjing, dan musang. Hewan-hewan kebun binatang, seperti kucing besar, berang-berang, dan primata, dan cerpelai yang dibesarkan di peternakan, serta rusa ekor putih juga telah terkonfirmasi positif Covid-19.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS mengatakan bahwa sebagian besar hewan tertular virus dari manusia. CDC menyebut bahwa manusia dapat menyebarkannya ke hewan saat kontak dekat, tetapi risiko hewan menularkannya kembali ke manusia rendah.
Ketakutan lain yang ada saat ini adalah bahwa hewan dapat melepaskan varian virus baru. Beberapa orang bertanya-tanya apakah varian omicron dimulai dengan cara ini.
"Di seluruh dunia, kita mungkin memiliki hewan yang berpotensi menginkubasi varian ini bahkan jika kita mengendalikan Covid-19 pada manusia," jelas David O'Connor, pakar virologi di University of Wisconsin-Madison.
Worobey mengatakan, dia telah mencari sidik jari genetik yang mungkin menunjukkan apakah omicron diciptakan ketika virus melompat dari manusia ke hewan, bermutasi, dan kemudian melompat kembali ke manusia. Para ahli mengatakan, mencegah penyakit zoonosis tidak hanya membutuhkan tindakan keras terhadap penjualan satwa liar ilegal, tetapi juga membuat kemajuan dalam masalah global besar yang meningkatkan risiko kontak manusia-hewan, seperti perusakan habitat dan perubahan iklim.
Para ilmuwan mengatakan bahwa kegagalan untuk sepenuhnya menyelidiki asal usul virus dari hewan akan membuat dunia rentan terhadap pandemi di masa depan yang timbul dari aktivitas manusia yang sama. Ini telah berulang kali menempatkan penduduk dunia pada akhirnya berada di jalur "kecelakaan" dengan virus baru.