Survei: 85,7 Persen Jurnalis Perempuan Alami Kekerasan
Survei dilakukan secara daring terhadap sebanyak 1.256 jurnalis perempuan.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) meluncurkan hasil survei nasional "Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia" melalui webinar pada Sabtu (11/12). Survei yang dilakukan pada Agustus-September itu menemukan, 85,7 persen jurnalis perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka.
Survei dilakukan secara daring terhadap 1.256 responden yang merupakan jurnalis perempuan di 191 kota/kabupaten yang mewakili Indonesia bagian barat, tengah, dan timur. Menurut pernyataan para jurnalis perempuan, sebanyak 1.077 responden (85,7 persen) pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka.
Dari 1.077 jurnalis tersebut, sebanyak 880 responden (70,1 persen) pernah mengalami kekerasan di ranah digital sekaligus di ranah fisik, sebanyak 99 responden (7,9 persen) pernah mengalami kekerasan digital saja, dan 98 responden (7,8 persen) pernah mengalami kekerasan fisik saja. Sementara itu, hanya sebanyak 179 responden (14,3 persen) yang tidak pernah mengalami kekerasan sama sekali.
"Temuan memprihatinkan ini perlu menjadi tanda bahaya bagi seluruh pemangku kepentingan pers, untuk semakin menyadari fenomena yang sudah lama dirasakan tapi belum terkonfirmasi. Data nasional ini mengonfirmasi cerita-cerita individual yang beredar luas bahwa banyak jurnalis perempuan Indonesia mengalami berbagai kekerasan," kata peneliti PR2Media yang menjadi koordinator rangkaian kegiatan ini, Engelbertus Wendratama, dalam siaran pers, Ahad (12/12).
Rangkaian kegiatan ini terdiri dari riset (survei dan wawancara), penyusunan modul, pelatihan, serta kampanye terkait kekerasan terhadap jurnalis perempuan Indonesia, yang dilakukan Agustus hingga Desember 2021, dengan dukungan USAID dan Internews. Survei dan wawancara menemukan, bentuk kekerasan yang dialami sangat beragam, bersifat seksual maupun non-seksual, di ranah digital maupun ranah fisik, yang juga mencakup maraknya diskriminasi gender terhadap jurnalis perempuan di kantor.
Menurut Koordinator Survei PR2Media, Rahayu, hasil survei juga mengindikasikan tren bahwa semakin banyak responden yang ditanya, angka kekerasan yang dialami pun bertambah. "Jadi jika jumlah responden ditambah, angka pengalaman kekerasan itu juga ikut naik. Ini tentu tantangan yang urgen, karena data ini merepresentasikan Indonesia," kata Rahayu.
Dari 16 bentuk kekerasan di ranah digital dan ranah fisik yang ditanyakan dalam kuesioner, bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh responden adalah komentar body shaming secara fisik (59 persen), yang diikuti komentar mengganggu atau melecehkan bersifat non-seksual secara daring (48 persen), komentar body shaming secara daring (45 persen), ancaman atau pelecehan lisan yang bersifat seksual (40 persen), ancaman atau pelecehan lisan yang bersifat non-seksual (37 persen), komentar mengganggu atau melecehkan bersifat seksual secara daring (34 persen), diskriminasi gender di kantor (32 persen), penyebaran misinformasi/fitnah secara daring (28 persen), penghinaan terkait suku/ agama/ras secara daring (22 persen), dan serangan fisik yang bersifat seksual (22 persen).
Ketua PR2Media, Masduki, berharap temuan penelitian ini dapat digunakan oleh pemangku kepentingan, mulai dari jurnalis, Dewan Pers, peneliti, organisasi media, lembaga advokasi, hingga pemerintah dan Komisi I DPR RI, sebagai basis melakukan langkah lebih lanjut untuk menanggapi kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan di Indonesia.