Gejala Serangan Jantung Datang Diam-Diam dan tanpa Disadari

Tak semua serangan jantung muncul dengan gejala yang berat dan mudah dikenali.

Pixabay
Tak semua serangan jantung muncul dengan gejala yang berat dan mudah dikenali (Foto: ilustrasi serangan jantung)
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, 

Baca Juga


Oleh: Adysha Citra Ramadani, Desy Susilawati

Tak semua serangan jantung muncul dengan gejala yang berat dan mudah dikenali. Faktanya, sekitar setengah dari kasus serangan jantung justru salah dikenali sebagai masalah kesehatan lain yang tidak begitu serius, terlebih untuk kasus serangan jantung diam-diam atau silent myocardial infarction (SMI).

Sekitar 45 persen dari serangan jantung merupakan SMI. Meski bisa dialami perempuan, SMI lebih sering mengenai laki-laki.

Dalam kasus SMI, jarang ditemukan gejala serangan jantung yang khas seperti nyeri dada hebat, rasa seperti tertusuk di lengan, rahang, atau leher, napas pendek, hingga berkeringat. SMI bisa menunjukkan gejala yang sangat ringan dan berlangsung sangat singkat sehingga kerap dianggap sebagai gejala tak enak badan yang umum.

"Karena itu laki-laki mengabaikannya," ungkap direktur program pencegahan penyakit vaskular dari Harvard-affiliated Brigham and Women's Hospital Dr. Jorge Plutzky, seperti diansir Harvard, Rabu (15/12).

Sebagai contoh, seseorang yang mengalami SMI mungkin akan merasakan gejala kelelahan atau rasa tak nyaman di badan. Orang tersebut mungkin berpikir gejala yang mereka rasakan disebabkan oleh terlalu banyak bekerja, kurang tidur, atau karena usia.

Beberapa gejala umum SMI selain merasa lelah atau tidak enak badan adalah nyeri yang ringan di tenggorokan atau dada. Kondisi ini juga kerap disalahartikan sebagai gejala refluks lambung, masalah pencernaan, dan heartburn.

Lokasi kemunculan nyeri pada kasus SMI juga kerap disalahpahami. Pada SMI, nyeri ringan atau rasa tidak nyaman kerap terasa di area tengah dada. Hal ini sedikit berbeda dengan gejala serangan jantung yang biasanya berupa nyeri hebat di area kiri dada.

"Orang-orang bahkan bisa merasa betul-betul normal selama SMI dan setelahnya juga, yang menambah kemungkinan terabaikannya tanda-tanda peringatan," ujar Dr Plutzky.

Tak heran bila ada cukup banyak orang yang tak sadar bila mengalami SMI. Hal ini juga diungkapkan dalam studi yang dipubikasikan pada Journal of the American Medical Association. Studi ini melibatkan hampir 2.000 orang Amerika Serikat berusia 45-84 tahun yang tak mengidap penyakit kardiovaskular. 

Setelah 10 tahun, 8 persen dari para partisipan tampak memiliki bekas luka miokard. Bekas luka ini lima kali lebih banyak ditemukan pada partisipan laki-laki dibandingkan perempuan.

Bekas luka miokard ini merupakan bukti bahwa serangan jantung pernah terjadi. Ironisnya, sekitar 80 persen dari partisipan yang memiliki bekas luka miokard tak sadar dengan kondisinya.

SMI maupun serangan jantung biasa memiliki faktor risiko yang sama. Faktor risiko tersebut antara lain adalah merokok, gemuk, kurang olahraga, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan diabetes.

Meski terkesan lebih ringan, SMI bisa sama berbahayanya dengan serangan jantung biasa. Alasannya, SMI kerap meninggalkan bekas luka dan merusak jantung. Bila dikombinasikan dengan fakta bahwa banyak orang yang tak sadar sedang mengalami SMI, kondisi ini bisa meningkatkan risiko serangan jantung kedua.

"Dan serangan jantung yang berpotensi lebih berbahaya," pungkas Dr Plutzky.

Perlu diketahui pula bahwa orang yang pernah mengalami SMI dan tak mendapatkan pengobatan memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami kematian akibat penyakit jantung koroner. Dengan kata lain, serangan jantung diam-diam sebenarnya merupakan tanda peringatan keras bahwa ada masalah kesehatan yang sedang terjadi.

"Yang membutuhkan perhatian," pungkas Dr Plutzky.

Dokter Spesialis Jantung & Pembuluh Darah Siloam Hospitals Lippo Village, Dr dr Antonia Anna Lukito, SpJP(K), FIHA, FAPSIC, FAsCC, FSCAI. Ia menjelaskan, penyakit jantung telah menyebabkan setidaknya 15 dari 1.000 orang di Indonesia menderita penyakit kardiovaskular pada 2018. 

Gejala penyakit jantung kerap tidak disadari oleh pengidapnya, terutama jika pasien masih berusia muda dan produktif. Padahal, gejala seperti sesak napas yang disertai dengan keringat dingin, rasa lemas, jantung berdebar, atau nyeri dada sebelah kiri, kemungkinan besar menandakan adanya gejala penyakit jantung yang perlu dideteksi dan ditangani sejak dini. 

"Oleh karena itu, cek jantung sejak dini juga berperan penting dalam menentukan tes-tes lanjutan apa yang harus dilakukan sesuai dengan kondisi kesehatan jantung masing-masing individu," ujarnya.

Ia menjelaskan, gejala-gejala penyakit jantung di fase awal kerap dirasakan sebagai gejala umum yang tidak membahayakan kesehatan. Hal itu membuat banyak pasien yang baru memeriksakan jantungnya ketika sudah mengalami gejala yang cukup parah. Negara lain bahkan merekomendasikan warganya untuk melakukan cek jantung rutin secara berkala minimal lima tahun sekali sejak usia 18 tahun, dan harus semakin sering jika memiliki riwayat kesehatan atau gaya hidup tertentu. 

"Pada tahap ini, deteksi dini sudah menjadi hal yang mutlak dilakukan untuk mencegah semakin banyaknya keterlambatan penanganan pada penyakit jantung,” lanjut Antonia. 

Deteksi dini penyakit jantung menjadi opsi ideal untuk mencegah terlambatnya penanganan penyakit jantung pada pasien. Salah satu inovasi deteksi dini penyakit jantung adalah penggunaan biomarker Troponin T dan NT-proBNP dalam tes darah, yang kini diakui sebagai standar emas deteksi dini penyakit jantung di dunia. 

Selain mampu mendeteksi penyakit jantung sejak dini, inovasi ini juga memungkinkan pasien untuk mencari tahu tingkat keparahan kondisi, merencanakan pengobatan yang efektif sesuai kondisi kesehatan, dan mencari tahu apakah pengobatan yang selama ini dijalani sudah bekerja dengan baik.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler