Wanita Pengasuh Rasulullah SAW: Barakah binti Tsa'labah
Bagi Rasulullah SAW, Barakah atau Ummu Aiman layaknya seorang ibu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah Swt. berfirman, Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang ber perang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik," (Ali Imran [3]: 195).
Nama aslinya Barakah binti Tsa'labah. Julukannya Ummu Aiman. Terkadang disapa Ummu al-Zhiba. Ia pelayan dan pengasuh Nabi Muhammad masa kecil.
Ummu Aiman mengenal Muhammad sedari kecil hingga diutus jadi rasul. Ummu Aiman yang ini adalah sosok wanita yang turut bersama Ibunda Nabi saw.
Siti Aminah membawa Nabi ke Madinah untuk berkunjung ke Bani Najjar yang tak lain merupakan para paman kakeknya Abdul Muththalib. Namun, di perjalanan pulang menuju Makkah, Ibunda Nabi jatuh sakit dan meninggal di al-Abwa.
Akhirnya, Ummu Aiman pulang berdua bersama Nabi, kemudian bertindak sebagai pengasuhnya. Sejak itu, ia mewakafkan dirinya untuk menjaga dan melindungi Nabi saw. yang masih kecil.
Ia mencurahkan cinta dan perhatian untuk menyayanginya, sebagaimana yang dilakukan kakeknya Abdul Muththalib. Melalui sosok Abdul Muththalib dan Ummu Aiman, Allah seakan ingin menggantikan kasih sayang kedua orang tua untuk Muhammad saw.
Sang kakek tak ragu menumpahkan kasih sayangnya kepada Muhammad saw. Bahkan, tak jarang ia berpesan kepada Ummu Aiman sebagai pengasuhnya, "Wahai Barakah, jangan sampai kau melalaikan putraku. Tadi aku mendapatinya bersama anak-anak lain di dekat pohon Sidrah. Selain itu, orang-orang Ahli Kitab meyakini bahwa putraku ini akan menjadi nabi di tengah umat ini."
Karena itu, begitu sang kakek wafat, Rasulullah saw. tertunduk sedih di belakang ranjang jenazahnya, sebagaimana dikatakan oleh Ummu Aiman, "Aku melihat Rasulullah saat itu menangis di belakang ranjang yang ditumpangi jenazah Abdul Muththalib."
Bagi Rasulullah saw., Ummu Aiman layaknya seorang ibu. Sehingga beliau sering memanggilnya dengan panggilan ummi yang berarti 'ibu: Pernah suatu ketika, beliau menatapnya dan berkata, "Beliau ini juga ahli baitku." Dalam kesempatan lain, beliau menyatakan, "Ummu Aiman adalah ibuku sepeninggal ibu kandungku."
Rasulullah saw. sendiri mewarisi Ummu Aiman dari ibunya Siti Aminah. Kemudian, beliau melepaskan diri dari asuhannya setelah menikah dengan Siti Khadijah.
Ummu Aiman sendiri menikah dengan 'Ubaid ibn Zaid dari Bani al-Harits ibn al-Khazraj. Dari pernikahannya dengan 'Ubaid, lahirlah Aiman yang kemudian turut mendampingi Rasulullah saw. dalam Perang Khaibar.
Disebutkan bahwa Siti Khadijah memiliki sahaya laki-laki bernama Zaid ibn Haritsah. Rasulullah saw. lantas meminta istrinya menghibahkan Zaid kepada dirinya. Maka setelah dimerdekakan, Zaid pun dinikahkan dengan Ummu Aiman setelah suaminya meninggal. Dari pernikahannya, lahirlah Usamah.
Walau usia sudah tak muda lagi, tetapi Ummu Aiman tak mau ketinggalan berjihad bersama Rasulullah saw. Dalam Perang Uhud, misalnya, bersama wanita yang lain, ia giat mengobati dan merawat para prajurit yang terluka serta memberi minum mereka yang kehausan.
Dalam Perang Khaibar, Rasulullah saw. berangkat bersama 20 orang wanita. Salah satunya adalah Ummu Aiman. Sedangkan putranya Aiman tidak ikut karena kudanya sakit. Namun, ibunya menyebutnya penakut.
Dalam Perang Mu'tah, Zaid ibn Haritsah gugur. Walau mendengar kabar suaminya tewas, Ummu Aiman tetap ikhlas dan besabar.
Bahkan, sewaktu mendengar kabar kematian putranya Aiman dalam Perang Hunaian, ia tetap tegar. Dirinya yakin bahwa putra kesayangannya ada di sisi Allah demi mengharap ridha-Nya dan ridha Rasul-Nya."
Ummu Aiman benar-benar mempersiapkan diri untukmen dapatkan kedudukan tinggi di sisi Nabi saw. Namun, kedudukan itu tetap tak menghalangi beliau untuk mengajarinya.
Pasalnya, dalam beberapa kesempatan Ummu Aiman kerap melakukan kesalahan dalam bicara. Karena itu, beliau selalu mengajarinya bahkan tak ragu memerintahnya untuk tidak bicara. Hal itu terjadi saat ia datang menemui Nabi saw., sambil mengucap, "Salamun la 'alaiku." Kemudian, Nabi saw. mengingatkan bahwa ia cukup mengatakan "assalamu."
Diriwayatkan pula dari Abu al-Huwairits bahwa pada saat Perang Hunain, Ummu Aiman mengatakan, "Semoga Allah melepaskan (harusnya: meneguhkan) telapak kaki kalian." Dan Nabi saw, langsung menegurnya, "Diamlah, sebab engkau orang yang kerap salah bicara."
Sewaktu Siti Fathimah wafat, Ummu Aiman bersumpah dir nya tidak akan berada di Madinah karena tak kuasa memandang tempat-tempat putri Nabi itu berada. Ia kemudian berangkat ke Makkah.
Namun, di perjalanan. Ummu Aiman kehausan. Ia lantas mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa, "Ya Tuhan, aku adalah pelayan Fathimah. Haruskah Fathimah membunuhku karena kehausan?" Maka Allah menurunkan satu timba air dari langit, lalu diminumnya. Sejak minum air tersebut, Ummu Aiman tak membutuhkan makanan dan minuman selama tujuh tahun.
Tatkala 'Ali ibn Abi Thalib berhijrah dari Makkah ke Madinah disertai beberapa wanita yang bernama Fathimah, yakni Fathimah ibn Asad, Fathimah binti Muhammad Rasulullah saw., dan Fathimah binti al-Zubair. Setibanya di Dhajnan, rombongan 'Ali ibn Abi Thalib menyusul Ummu Aiman dan sejumlah orang-orang mukmin yang lemah.
Akhirnya, mereka melanjutkan perjalanan bersama-sama, sambil berzikir mengingat Allah dalam setiap ke adaan mereka, hingga akhirnya berhasil berjumpa Nabi saw. Maka turunlah ayat, Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyia kan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari seba gian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik," (Ali Imran [3]: 195).
Ummu Aiman wafat 20 hari setelah Umar wafat.