Bank Dunia Proyeksi Ekonomi Indonesia Tumbuh 3,7 persen
Pertumbuhan itu dapat dicapai jika Indonesia tak mengalami gelombang covid yang parah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 3,7 persen pada 2021. Hal ini asumsi Indonesia tidak mengalami gelombang baru Covid-19 yang lebih parah.
Dalam laporan bertajuk A Green Horizon: Toward a High Growth and Low Carbon Economy, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2021 lebih rendah dibandingkan proyeksi yang dirilis pad pada Juni lalu. Saat itu Bank Dunia meramal perekonomian Indonesia tumbuh 4,4 persen.
“Proyeksi yang lebih rendah ini mencerminkan dampak gelombang Delta. Sementara proyeksi 2022 tidak berubah," ujar Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Habib Rab, Kamis (16/12).
Bank Dunia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat 5,2 persen pada 2022. Menurutnya proyeksi tersebut berdasarkan asumsi program vaksinasi akan terus dilakukan dengan harapan sebagian besar provinsi bisa mencapai tingkat vaksinasi hingga 70 persen pada 2022 dan dengan catatan Indonesia tidak akan mengalami gelombang baru Covid-19 yang lebih parah.
"Kami lihat ekonomi akan terus pulih dengan penyeimbangan berbagai sumber pertumbuhan," ucapnya.
Menurutnya prediksi ini juga diasumsikan kebijakan moneter dan fiskal domestik akan tetap akomodatif serta pertumbuhan perdagangan global dan harga komoditas meningkat moderat di tengah pengetatan kondisi keuangan global.
Bank Dunia juga melihat konsumsi diperkirakan akan pulih lebih kuat. Sebab tingkat vaksinasi sudah lebih luas dan hal tersebut dipercaya akan meningkatkan sentimen konsumen dan mendongkrak permintaan.
“Pertumbuhan PDB per kapita diproyeksikan melambat dari 3,8 persen pada 2015-2019 menjadi 3,4 persen per tahun pada 2021-2022,” ucapnya.
Ke depan Habib mengungkapkan ada empat tantangan utama yang harus dihadapi pemerintah Indonesia dalam mengatasi pandemi. Pertama, pandemi belum berakhir. Omicron dan varian lainnya bisa menyebar, dan Covid-19 bisa menjadi endemik.
Kedua, pemerintah harus menjaga kebijakan moneter dan keuangan agar tetap memadai. Adapun kondisi keuangan global kemungkinan akan mulai mengetat sebelum Indonesia dan pasar negara berkembang lainnya pulih.
Dari sisi lain, pemerintah juga harus meningkatkan ruang fiskal. Sebab kebijakan fiskal memiliki tujuan ganda untuk memenuhi kebutuhan respons pandemi sekaligus memenuhi kebutuhan pembiayaan dan utang publik dalam jangka menengah.
Terakhir, pemerintah Indonesia juga diminta untuk memajukan reformasi struktural demi mendorong pertumbuhan inklusif dan hijau. Menurut Habib tingginya angka vaksinasi akan menyebabkan pemulihan permintaan masyarakat serta sektor swasta.
Terkait inflasi, Habib turut memproyeksikan indeks harga konsumen akan mencapai 1,6 persen pada tahun ini, cukup bertahan rendah karena permintaan yang masih rendah dan ada pembatasan inflasi dari produsen ke konsumen.
Meski begitu, dia memperkirakan inflasi akan meningkat dalam beberapa bulan ke depan, walaupun masih akan berada angka yang diharapkan pemerintah, sehingga kemungkinan akan berada level 2,2 persen pada 2022.
“Dengan perkiraan yang positif ini, masih banyak ketidakpastian dan beberapa risiko dampak jangka panjang dari Covid-19 di Indonesia,” ucapnya.
Habib membeberkan risiko tersebut antara lain peningkatan pengangguran, penurunan investasi, hingga penurunan pertumbuhan potensial.
"Sejak 2010-2019 ini terus menurun dan terjadi bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain dan itu akan jauh lebih cepat lagi penurunannya karena adanya investasi yang berkurang," ucapnya.