Betulkah Konsumsi Susu Tingkatkan Risiko Penyakit Kardiovaskuler?
Ada stigma yang mengaitkan konsumsi susu dengan risiko penyakit kardiovaskular.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Ir Ali Khomsan menyebut, stigma yang mengaitkan antara susu dengan risiko penyakit kardiovaskuler adalah kesalahpahaman. Ia menjelaskan, kandungan susu pada intinya adalah kalsium, protein, dan lemak.
"Umumnya kandungan lemak di susu hanya tiga persen," jelas Prof Ali saat dihubungi Republika.co.id.
Kandungan kolesterol dalam susu juga sangat rendah. Prof Ali mengatakan, susu hampir tidak ada kandungan negatifnya bagi masyarakat lintas usia asalkan dengan takaran yang sesuai setiap hari.
"Di Amerika Serikat, perbedaan susu cuma antara yang lemaknya tinggi dan rendah. Yang lemak tinggi pun sebenarnya nggak tinggi-tinggi banget, hanya 3,5 persen, sedangkan yang rendah lemak itu di bawah 3,5 persen," papar dia.
Di Amerika, menurut Prof Ali, bayi baru lahir hingga usia dua tahun wajib minum air susu ibu (ASI) dan setelahnya sudah boleh mengonsumsi susu yang sama dengan orang tuanya. Biasanya, dalam sebuah keluarga berlangganan susu murni kemasan galon.
"Kalau di Indonesia banyak jenis susu, itu karena ada tambahan zat gizi yang disebut fortifikasi, misalnya untuk anak-anak usia sekolah maka ditambahkan omega 3, maka jadilah susu dengan DHA, susu dengan EPA," ungkap Prof Ali.
Menurut Prof Ali, ada kesalahpahaman di masyarakat mengenai susu tertentu yang dianggap lebih bagus daripada yang lain. Hal itu sebenarnya pandangan yang kurang pas sebab pada dasarnya tidak ada susu untuk orang tua atau anak muda.
"Kita tahu pembentukan kalsium di tubuh kita itu optimal sampai usia 30 tahun, minum susu harus terus dilakukan. Jangan sampai baru usia lima tahun sudah berhenti," kata dia.