Dari Budi Daya Maggot, Arky Gilang Bantu Wujudkan Banyumas Bebas Sampah
Maggot dapat mengurai sampah organik lebih cepat dibandingkan metode komposting.
REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Budidaya maggot (belatung) di Kabupaten Banyumas menjadi salah satu kunci dalam pengelolaan sampah di wilayah ini. Bukan hanya dapat mengurangi sampah organik hingga 50 persen, tapi melalui larva ini, sampah organik dapat bernilai ekonomi bagi masyarakat.
Seorang warga Desa Banjaranyar, Kabupaten Banyumas, berhasil membudidayakan maggot untuk mengolah sampah organik. Arky Gilang (35 tahun) pertama kali memikirkan budidaya ini ketika menyadari bahwa kampung halamannya, Kabupaten Banyumas, mengalami darurat sampah di tahun 2018 silam.
"Berdasarkan data KLHK, komposisi sampah organik yaitu sebanyak 50 persen dari semua sampah yang ada. Awalnya mencoba metode composting (membuat kompos), tapi karena butuh lahan yang besar sekali, kita cari cara lain, dan ternyata ada salah satu metode dengan maggot," ungkap Arky kepada Republika.co.id.
Maggot yang dimaksud oleh Arky adalah sejenis larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF). BSF ini tidak menularkan bakteri, penyakit atau bahkan kuman pada manusia. Namun sama seperti kebanyakan belatung, maggot ini memiliki kegunaan ekologis yang dapat mendekomposisi bahan organik.
Budidaya maggot dianggap dapat menjadi kunci utama untuk mengurangi sampah organik karena metode menguraikan sampah dengan maggot ini dapat dilakukan dengan cepat, ketimbang metode komposting untuk membuat pupuk kompos. Dengan metode komposting, diperlukan waktu sekitar 24-45 hari hingga sampah organik terurai menjadi kompos. Sedangkan dengan maggot, prosesnya jauh lebih cepat, yakni hanya perlu satu hari.
Pada awal budidaya, Arky yang mendirikan PT Green Prosa bersama rekan-rekannya, mendapatkan sampah organik dari lingkungan sekitar desa, yakni sekitar 5-10 kg sampah per hari. Kemudian sampah-sampah tersebut diberikan maggot sebanyak 5 gram yang kemudian mengurai sampah organik menjadi pupuk.
Pemasaran pupuk organik ini awalnya hanya di petani-petani sekitar. Namun semakin banyak sampah organik yang diolah, semakin banyak hasil pupuk organik yang dipasarkan hingga sampai ke Jakarta. Selain dihargai murah, pupuk ini diklaim Arky memiliki kualitas lebih bagus dibandingkan dengan pupuk organik yang dijual di pasaran, sehingga permintaan akan pupuk organik hasil maggot ini pun terus meningkat. Apalagi pasar hanya sanggup memenuhi 20 persen pupuk organik dari kebutuhan nasional.
"Kami dari awal bisnis ini ke arah memberi manfaat bagi banyak orang, jadi harga pupuknya sepertiga dari harga pasaran. Kualitasnya justru jauh lebih bagus dari pupuk- pupuk organik yang di pasaran," kata Arky.
Dengan semakin meningkatnya skala budidaya maggot ini, PT Green Prosa pun memperluas kerjasama dengan kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang mengumpulkan sampah, serta dengan dua tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di Banyumas yakni TPST Karangcegak dan Sokaraja Kulon. Dari kerjasama tersebut, ia dapat mengumpulkan sekitar 16 dump truck (DT) per hari. Sementara saat hari raya Idul Fitri maupun hari raya lainnya, pihaknya dapat mengumpulkan sekitar 20 DT per hari.
Keberhasilan program milik Arky ini telah membantu Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam mengurangi sampah di daerah tersebut. Pemda turut memberikan dukungan berupa tempat untuk mengolah bubur sampah dan angkutan yakni truk sampah yang dapat digunakan di TPST. Saat ini, program budidaya maggot yang dikelola oleh PT Green Prosa ini berhasil mengurangi setidaknya 12 ton sampah organik dari 5.800 rumah dan 72 instansi di Kecamatan Sumbang dan Sokaraja setiap harinya.
"Yang kami habiskan itu 12 ton sampah. Kami ada 32 mitra dan mereka menghabiskan 30-40 ton sampah per hari dari 8.000 rumah," ungkap lulusan Teknik Geodesi ITB ini.
Target Bebas Sampah Banyumas
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas optimistis, dengan budidaya maggot ini dapat membantu Banyumas menuju target zero waste atau bebas sampah di Maret 2022. Kepala DLH Banyumas Junaidi mengatakan, untuk menuju zero waste, DLH tengah menyiapkan berbagai alat untuk mesin pengolahan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah berbasis lingkungan dan edukasi (TPA BLE) yang saat ini tengah dibangun.
Ia memaparkan, sampai hari ini sampah yang dibuang di TPA sementara itu sebanyak 32 dump truck (DT) setiap hari. Dari kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang mengelola sampah, sampah-sampah tersebut dibuang di junil atau pembuangan sementara, karena saat ini Banyumas belum mempunyai tempat pembuangan akhir (TPA).
"Harapan kami karena TPA BLE yang sedang dibangun itu, kapasitasnya 20 DT dapat diproses disitu habis jadi abu. Jadi kami masih punya tugas mengurangi sampah-sampah yang ada di KSM 10 DT setiap hari sampe Maret 2022," jelas Junaidi.
Baca juga : Ini Lima Favorit Tempat Wisata di Kota Bogor
Tidak hanya untuk mengurangi sampah, ia berharap budidaya maggot terus bertambah. Apalagi dengan komposisi sampah organik dan anorganik adalah 50:50, dan sampah akan terus ada setiap harinya, ini menjadi sangat potensial untuk mengembangkan bisnis maggot.
"Karena maggot juga bisa jadi pakan ikan, bukan hanya untuk mengurai sampah," ujar Junaidi.
Memperluas Manfaat
Budidaya maggot dianggap sukses dalam mengurangi sampah organik juga menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Menurut Arky, banyak orang-orang yang kehilangan pekerjaan beralih membudidayakan maggot, sehingga saat ini mitra yang melakukan pembudidayaan maggot telah mencapai 32 mitra. Tidak hanya digunakan untuk mengurai sampah organik menjadi pupuk, maggot ini juga dijual sebagai pakan ikan.
"Dampak positifnya mmembantu lebih dari 20 ribu orang, dan berdampak langsung secara ekonomi pada sekitar 200 orang," ujar Arky.
Untuk mengembangkan budidaya maggot di mitra-mitranya, Arky juga mencari pendanaan dari pihak swasta. PT Green Prosa juga membantu mitra dengan membeli maggot dan pupuk organik mereka untuk kemudian didistribusi ke pasar.
Baca juga : Inilah Dampak Kurang Tidur Bagi Tubuh Anda
Berkat program ini, Arky menjadi pemenang SATU Indonesia Awards 2021 yang diselenggarakan oleh PT Astra International Tbk. Koneksi yang didapat Arky dari program Astra ini telah melebarkan sayap programnya untuk direplikasi di daerah- daerah lainnya.
"Manfaat dari Satu Indonesia Awards ini bikin banyak yang tahu dan mengajak untuk kolaborasi program ini. Banyak pemda dan media yang menghubungi saya, dari situlah kami bisa banyak koneksi dan mempercepat manfaatnya," kata Arky.
PT Green Prosa menargetkan untuk mereplikasi budidaya maggot ini di setiap kota dan kabupaten. Ditargetkan pada awal tahun depan, program ini akan direplikasi di beberapa kota yaitu Pekalongan, Purbalingga, Purwakarta dan Kuningan.
"Pekalongan, Purbalingga, Purwakarta, Kuningan mulai jalan di tahun depan. Sekarang sudah mulai dibangun tempat, targetnya Februari di beberapa tempat udah mulai start," ungkapnya.
Nilai Ekonomi Karbon
Proses mengurai sampah menjadi pupuk organik ini telah membantu untuk mengurangi karbondioksida di udara. Untuk itu, budidaya maggot ini sangat potensial untuk mendapatkan keuntungan dari nilai ekonomi karbon (carbon pricing). Nilai ekonomi karbon dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari kegiatan industri.
Jadi, bagi perusahaan yang melampaui batas emisi sektor yang ditetapkan Pemerintah, maka mereka diharuskan membayar pajak karbon. Sebaliknya, perusahaan yang berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca akan mendapatkan insentif. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK).
Baca juga : Penumpang Bus AKAP di Terminal Baranangsiang Meningkat 8,3 Persen
Kebijakan tersebut mengatur penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon. Mekanisme kebijakan in akan dilakukan secara bertahap mulai tahun depan.
PT Green Prosa rencananya akan menjadi pilot project untuk carbon pricing ini di Indonesia. Dengan ini, budidaya maggot akan mendapatkan insentif pendanaan dari perusahaan yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca besar. "Kita mau dorong PT Green Prosa untuk pilot plant carbon pricing," ujar Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar beberapa waktu lalu.
Menurut Novrizal, upaya mengurangi sampah membutuhkan sumber daya, teknologi dan biaya besar, sehingga inovasi seperti ini perlu didukung dan diapresiasi.