Gangguan Tidur Bisa Sebabkan Penyakit Kronis

Penderita gangguan tidur bahkan lebih rentan terhadap kematian dini.

www.freepik.com.
Penderita gangguan tidur bahkan lebih rentan terhadap kematian dini (Foto: ilustrasi gangguan tidur)
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, 

Baca Juga


Oleh: Santi Sopia

Sebuah studi baru telah mengungkapkan bahwa gangguan tidur yang umum seperti insomnia dan apnea tidur obstruktif dapat menyebabkan masalah kesehatan kronis, layaknya kardiovaskular.  Studi yang dipublikasikan di European Respiratory Journal, dilansir dari Indian Express, Rabu (29/12), mencatat bahwa orang yang menderita kombinasi dari dua gangguan tidur, bahkan lebih rentan terhadap kematian dini.

“Insomnia dan apnea tidur obstruktif adalah dua gangguan tidur yang paling umum, mempengaruhi 10 hingga 30 persen populasi, tetapi orang sering dapat menderita keduanya pada saat yang bersamaan,” kata Dr Bastien Lechat dari Flinders Health and Medical Research Institute: Sleep Health.

Sebelumnya, tidak banyak diketahui tentang dampak insomnia komorbid dan apnea tidur obstruktif (COMISA). Tetapi peneliti mengetahui bahwa orang dengan kedua kondisi tersebut, menunjukan hasil kesehatan secara konsisten lebih buruk daripada mereka yang tidak memiliki masalah itu atau hanya punya salah satu gangguan tidur.

Para peneliti Flinders University kini juga telah mempelajari kumpulan data besar yang berbasis di AS. Tim terdiri dari lebih dari 5.000 orang guna memahami risiko COMISA. Para peserta berusia 60 tahun pada awal penelitian dengan 52 persen perempuan, diteliti selama kurang lebih 15 tahun. Masa studi telah melihat 1.210 kematian.

Sesuai penelitian, peserta dengan COMISA dua kali lebih mungkin untuk memiliki tekanan darah tinggi dan 70 persen berisiko untuk memiliki penyakit kardiovaskular dibandingkan peserta yang tidak insomnia atau sleep apnea. Ini juga menunjukkan bahwa peserta dengan COMISA memiliki 47 persen peningkatan risiko kematian dibandingkan peserta yang tidak memiliki gangguan tidur.

“Ini adalah studi pertama yang menilai risiko kematian pada peserta dengan komorbid insomnia dan sleep apnea,” kata Dr Lechat, yang memimpin penelitian.

Mengingat bahwa kelompok ini berisiko lebih tinggi mengalami hasil kesehatan yang merugikan, penting bagi orang yang menjalani skrining untuk satu masalah, juga harus diskrining untuk yang lain.

 

Apa saja gangguan tidur?

Apnea tidur obstruktif ditandai dengan penghentian aliran udara secara berkala yang menyebabkan penurunan kadar oksigen dalam darah secara signifikan sehingga membuat sering terbangun. Kondisi ini lebih sering diamati pada pria, wanita pasca-menopause dan mereka yang obesitas atau dengan kelainan anatomi saluran napas bagian atas. 

“Mereka juga biasanya mengalami mendengkur berlebihan, sering terbangun dari tidur, sakit kepala dini hari, lesu, dan kecenderungan untuk tertidur di siang hari, kata Dr Viswesvaran Balasubramanian, Konsultan Intervensi Pulmonologi dan Obat Tidur, Yashoda Hyderabad Hospital.

Dia juga menyebutkan bagaimana insomnia, yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan tidur, mulai mempengaruhi aktivitas sehari-hari, sehingga bisa menjadi fenomena akut atau kronis.

 

Apa penyebab gangguan tidur?

Menurut Dr Satya Ranjan Sahu, Konsultan Pulmonologis, Narayana Superspeciality Hospital, Gurugram, gangguan tidur terjadi terutama karena gaya hidup dan penyebab kejiwaan. Obesitas dan stres adalah dua faktor utama yang bisa menyebabkannya. 

Faktor itu memainkan peran kunci dalam memperburuk prognosis penyakit komorbiditas sebelumnya seperti diabetes, penyakit jantung, dan hipertensi. Diagnosis dini dan modifikasi gaya hidup adalah beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk pencegahan.

 

Apa yang bisa dilakukan?

Menurut Dr Balasubramanian, identifikasi dini dan manajemen yang tepat dengan terapi Continuous Positive Airway Pressure (CPAP), serta modalitas bedah lainnya dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. “Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa risiko kematian tertinggi pada sleep apnea terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 50 tahun dan risikonya cenderung menurun seiring bertambahnya usia,” kata Dr Subramaniam.

Dia menambahkan bagaimana pengobatan non-farmakologis untuk insomnia dapat membantu. Mengadopsi modalitas itu, seperti mengikuti langkah-langkah kebersihan tidur dan penggunaan pengobatan non-farmakologis untuk insomnia seperti terapi kognitif ditekankan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler