Kiai Miftachul Akhyar dan Pesan Tersirat Ahwa
Ahwa pada Muktamar NU meminta Kiai Miftach tak rangkap jabatan
Oleh : Nur Hidayat, anggota Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan MUI
REPUBLIKA.CO.ID, Terpilihnya KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyisakan kemuskilan. Pasalnya, Sidang Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) Muktamar ke-34 NU mengharapkan Kiai Miftach, panggilan akrabnya, untuk tidak merangkap jabatan dengan organisasi lain, serta fokus di dalam pembinaan dan pengembangan jam'iyah NU ke depan.
Ikhbar hasil musyawarah AHWA itu disampaikan tepat pada pukul 00.01-00.11 tanggal 24 Desember 2021. Pada tanggal yang sama, setahun sebelumnya, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dipimpin oleh KH Miftachul Akhyar dikukuhkan di Jakarta.
Sebagaimana disampaikan KH Zainal Abidin, juru Bicara AHWA, harapan yang berasal dari pendapat salah satu anggota AHWA setelah penetapan Rais Aam tersebut direspons oleh Kiai Miftach dengan sangat santun: sami'na wa atha'na (kami dengarkan dan kami patuhi).
Kalimat itu adalah kredo santri terhadap titah kiai yang tetap dipegang oleh Kiai Miftach meskipun sudah menduduki maqam tertinggi di dalam jam'iyah NU. Artinya, kalimat itu harus dibaca sebagai ekspresi ketawadhuan beliau terhadap masyayikh dan Sidang AHWA.
Berita tentang hasil sidang AHWA dan jawaban Kiai Miftah sontak mengejutkan banyak pihak. Tak terkecuali, elemen MUI yang berasal dari unsur di luar Nahdlatul Ulama. Meski tidak disebut secara verbal oleh juru bicara AHWA, publik mafhum bahwa yang dimaksud adalah MUI.
Di luar dugaan, "Kado Ulang Tahun" kepemimpinan Kiai Miftach di MUI itu justru ditolak tokoh utama Muhammadiyah yang juga salah satu Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas. Tokoh yang dikenal kritis ini justru meminta dan memohon dengan sangat kepada NU agar KH Miftachul Akhyar tetap bisa merangkap dan melaksanakan tugasnya menjadi Ketua Umum MUI.
Saat memberikan sambutan dalam forum Rakornas Lembaga Penanggulangan Bencana MUI, Senin (27/12), Buya Anwar menegaskan, meskipun menjadi Rais Aam, Kiai Miftach tetap bisa menjalankan fungsi sebagai Ketua Umum MUI. "Sepanjang pengetahuan saya, NU bukan hanya untuk NU saja, melainkan untuk umat, untuk bangsa, dan untuk kemanusiaan," tegasnya.
Kehadiran Kiai Miftach menjadi pemimpin MUI, menurut Buya Anwar, adalah sebuah tuntutan, supaya persatuan dan kesatuan di MUI bisa terjaga dan terawat dengan sebaik-baiknya. Keanggunan, ketawadhuan dan kerendahan hati Kiai Miftach juga disebut Buya Anwar sebagai modal penting dalam memimpin organisasi para ulama, zu’ama, dan cendekiawan Muslim itu.
Dari internal NU, hasil Rapat Gabungan Syuriah-Tanfidziyah PWNU Jawa Timur juga memohon agar Kiai Miftach tidak melepaskan jabatan Ketua Umum MUI.
"Kami memohon kepada Rais Aam PBNU untuk tidak mundur dari Ketua Umum MUI untuk kepentingan kemaslahatan yang lebih besar bagi agama, bangsa dan negara, serta mengusulkan kepada seluruh PWNU se-Indonesia agar bersikap serupa dengan PWNU Jatim," tutur Sekretaris PWNU Jatim Akh Muzakki, Selasa (28/12).
'Bidah' Jam'iyah
Secara organisatoris, harapan Sidang AHWA terkait rangkap jabatan NU-MUI dapat disebut sebagai "bidah jam'iyah". Sebab, baik anggaran dasar maupun anggaran rumah tangga NU, selama ini tidak pernah melarang rangkap jabatan semacam itu. Yang terlarang adalah rangkap jabatan politik. Demikian pula sebaliknya.
Istilah "bidah" ini pertama kali dikenalkan Kiai Miftach saat beliau terpaksa menerima desakan untuk berkenan dicalonkan menjadi ketua umum dalam Munas MUI November 2020 lalu.
Dalam riwayat perjalanan organisasinya, Kiai Miftach memang belum pernah merangkap jabatan sebagai Ketua MUI. Baik saat cmenjadi Rais Syuriah PCNU Kota Surabaya maupun selama dua kali menjabat Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Bukan karena tidak dicalonkan, melainkan lebih karena kesadaran beliau terkait pentingnya pembagian fungsi dan peran di antara para ulama.
Dalam beberapa kesempatan, Kiai Miftach bercerita bahwa permintaan untuk menjadi Ketua Umum MUI sudah ada sejak dua tahun sebelum Munas MUI. Selama itu pula, beliau keukeuh menolaknya. Tapi, ketika terus didesak untuk berkenan dicalonkan hingga injury time menjelang Munas, beliau akhirnya luluh.
Pertimbangannya, Kiai Miftach tidak ingin dianggap menjadi pemicu lahirnya "bid'ah" di dalam NU, jika nantinya yang terpilih Ketua Umum MUI bukan dari unsur NU. "Saya tidak ingin dituduh menjadi pembuat bid'ah, karena selama ini Rais Aam PBNU adalah juga Ketua Umum MUI," tutur beliau.
Dengan gambaran itu, penulis tidak yakin bahwa Sidang AHWA ingin memelopori lahirnya "bidah jam'iyah" NU-MUI.
Lalu, bagaimana kita membaca pesan tersirat di balik harapan Sidang AHWA itu? Menurut hemat penulis, ada dua perspektif yang dapat digunakan.
Pertama, bagi internal NU, pesan tersebut harus dimaknai bahwa lima tahun kepemimpinan Rais Aam PBNU ke depan adalah golden moment untuk mengembalikan supremasi Syuriah sekaligus menyiapkan fondasi abad baru NU yang kokoh dan kompatibel dengan tantangan ke depan.
Kedua, jika nanti masyayikh anggota Sidang AHWA telah me-nasakh permintaan tersebut, maka elemen NU yang berada di kepengurusan MUI (terutama yang tidak terakomodasi dalam struktur PBNU 2021-2026) harus membantu kepemimpinan Kiai Miftach di sana. Bukan malah menjadi beban, apalagi menjadi "urusan". Wallahu a'lam.