Uni Eropa Dorong Embargo Senjata Terhadap Myanmar
Uni Eropa serukan embargo senjata internasional terhadap pemerintah militer Myanmar
REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa telah menyerukan embargo senjata internasional terhadap pemerintah militer Myanmar. Uni Eropa juga menyerukan untuk memperketat sanksi terhadap militer Myanmar setelah mereka melakukan pembantaian terhadap lebih dari 35 orang pada malam Natal.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan tindakan kekerasan mengerikan yang dilakukan oleh rezim militer terhadap warga sipil dan pekerja kemanusiaan harus dipertanggungjawabkan. Uni Eropa siap untuk memberlakukan sanksi lebih lanjut terhadap rezim militer Myanmar.
"Mengingat meningkatnya kekerasan di Myanmar, diperlukan peningkatan tindakan pencegahan internasional, termasuk embargo senjata. Uni Eropa juga siap untuk menjatuhkan sanksi lebih lanjut terhadap rezim militer,” ujar Borrell dilansir Aljazirah, Jumat (31/12).
Sejak kudeta militer, Uni Eropa telah memberlakukan sanksi yang menargetkan para pemimpin militer Myanmar beserta entitasnya. Uni Eropa juga telah menghentikan bantuan keuangan dan membekukan bantuan yang dapat melegitimasi rezim militer.
"Penargetan warga sipil dan aktor kemanusiaan tidak dapat diterima dan merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional, termasuk hukum humaniter," kata Borrell.
Borrell menyerukan akses kemanusiaan secara penuh, aman, dan tanpa hambatan kepada rakyat Myanmar. Dia juga menuntut perlindungan penuh bagi pekerja kemanusiaan dan personel medis. Uni Eropa berkomitmen untuk terus memberikan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Myanmar.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (29/12) mengutuk pembantaian terhadap 35 orang, termasuk dua staf Save the Children di negara bagian Kayah, Myanmar. Pembantaian yang dilakukan pada malam Natal ini diduga dilakukan oleh pasukan militer Myanmar.
"Perlu ada pertanggungjawaban atas tindakan ini," ujar pernyataan Dewan Keamanan PBB dilansir Channel News Asia.
Dewan Keamanan PBB menyerukan semua pihak untuk menghentikan kekerasan dan menekankan pentingnya menghormati hak asasi manusia serta memastikan keselamatan warga sipil. Dewan Keamanan PBB menekankan perlunya akses kemanusiaan yang aman dan tanpa hambatan bagi semua orang yang membutuhkan. Akses keamanan bertujuan untuk memberikan perlindungan penuh serta keselamatan personel kemanusiaan dan medis.
Pejuang anti-junta telah menemukan lebih dari 30 mayat terbakar, termasuk wanita dan anak-anak. Jasad yang terbakar itu ditemukan di jalan raya di negara bagian Kayah. Dua staf Save the Children termasuk di antara mereka yang tewas.
Amerika Serikat (AS) mengutuk serangan brutal oleh militer Myanmar di negara bagian Kayah tersebut. Menteri Luar Negeri Antony Blinken khawatir tindakan brutal rezim militer Myanmar semakin meluas.
“Kami khawatir dengan kebrutalan rezim militer di sebagian besar Burma, termasuk yang terbaru di Negara Bagian Kayah dan Karen,” kata Blinken dilansir Anadolu Agency.
Blinken menegaskan serangan yang menargetkan warga sipil tak bersalah itu tidak dapat dibenarkan. Menurutnya, militer telah melakukan kekejaman yang meluas terhadap rakyat Myanmar. Karena itu, Blinken mendorong PBB untuk meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas tindakan brutal mereka.
"Penargetan orang tak bersalah dan aktor kemanusiaan tidak dapat diterima dan kekejaman militer yang meluas terhadap rakyat Burma menggarisbawahi urgensi meminta pertanggungjawaban anggotanya," kata Blinken.
Ia mendesak masyarakat internasional untuk berbuat lebih banyak dan mencegah terulangnya kekejaman di Myanmar. Termasuk mengakhiri penjualan senjata dan teknologi penggunaan ganda kepada militer Myanmar.